Oleh: Rizky Maulana Billyananda
Akan selalu ada pilihan dalam hidup. Aku bisa memilih untuk perlahan mengukir versi terbaik diriku sebelum mencari kerja dengan gaji tinggi, atau segera bekerja agar segera punya uang dan pengalaman kerja. Latar belakang sosial ekonomi individu berperan besar disini. Karena menurut saya, yang beruntung dan kaya bisa lebih fokus pada pengembangan dan hiburan diri, sedangkan yang kurang beruntung perlu fokus menghidupi diri dan keluarga. Perbedaan ekonomi ini yang dapat menggeser semua daftar prioritas.
Purpose-driven adalah strategi yang mengutamakan tujuan, pengembangan diri untuk keuntungan di masa depan, dan perencanaan jangka panjang. Sedangkan financially-driven berarti mengutamakan keuntungan yang segera, cenderung mementingkan keuntungan daripada kenyamanan.
Aku mulai mempelajari topik ini sejak SD. Menurutku, aku penuh pengamatan dan terlalu dewasa untuk umurku. Sebulan sekali, orang tuaku mengajakku dan adik-adik ke toko mainan kecil yang penuh barang dagangan. Mereka mengajak kami untuk melihat, memilih, membandingkan, dan mempelajari mainan yang menakjubkan. Selagi melihat-lihat, orang tuaku selalu mengingatkan kai “Nak, cari mainan terbagus yang kamu mau. Nanti, kalo sudah punya uang, kita beli.” Dari itu, aku belajar untuk menahan diri ketika ingin membeli sesuatu.
Saat SMP, semangatku untuk mencari kerja, membara. Namun yang kucari adalah pekerjaan ringan dengan gaji besar, tidak masuk akal. Aku banyak mencari tutorial mendapat pemasukan bagi pelajar. Aku ingin memiliki gaji dan membantu keluargaku. Tetapi orang tuaku selalu memberitahuku bahwa lebih baik jika menyelesaikan pendidikanku dulu, berprestasi atau mendapat peringkat tinggi di sekolah dan jangan memikirkan pemasukan. Pada saat itu, keluargaku mampu membayar biaya sekolah kami bertiga dan tidak menggos-menggos.
Dulunya, aku pikir belajar dengan giat dan berprestasi di sekolah itu merugikan, tidak cepat membuahkan hasil. Memasuki kuliah, aku mulai menyadari betapa pentingnya edukasi, harus bersabar dan tidak mengharap hasil yang instan. Edukasi tinggi merupakan kunci untuk mendapatkan beasiswa atau pembiayaan sekolah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dan instansi lain, peduli akan pelajar pintar dan mau membiayai sekolah mereka.
Dengan mahir dalam suatu bidang, kita dapat menawarkan kualitas kerja yang bagus. Tahu cara mempelajari dan mengatasi hal baru, terbiasa dengan lingkungan kerja atau organisasi, bahkan merencanakan dari awal untuk masuk kuliah ternama yang menjanjikan pekerjaan bagus. Dengan kemampuan yang bagus, seseorang dapat meminta gaji yang lebih tinggi karena dianggap berharga dan tidak diremehkan. Pemikiran ini biasanya dimiliki mereka yang kaya dan orang dengan mental purpose-driven (tergerak oleh tujuan), dimana mereka tidak bingung perihal kemampuan membeli makan (makan pagi, siang, dan malam) selanjutnya.
Beberapa keluarga yang kurang beruntung atau keluarga yang pelit, memprioritaskan penghematan uang di segala aspek, terkadang termasuk pendidikan, menganggap semua sekolah itu sama-sama sekolah. Terkadang jika terpaksa, anak yang masih sekolah dipaksa untuk mencari uang, entah dengan berjualan atau bahkan mengemis. Di sisi lain, beberapa keluarga menghormati dan mengerti pentingnya edukasi. Mereka mendukung anak-anak untuk berusaha belajar dan memiliki edukasi yang lebih baik, apapun yang terjadi.
Ketika ada kesempatan untuk mendapatkan uang, orang yang financially-driven akan berusaha memaksimalkannya. Terkadang demi cuan, rasa malu dan kemanusiaan sudah tidak ada harganya lagi. Aku banyak melihat ini dari pengemis yang merebut bungkus makanan dari pendonasi dan merusak bungkus lainnya. Tidak harus pengemis, orang seperti ini juga ada disekitar kita sebagai teman dan keluarga yang licik. Orang kaya pun bisa berlagak begitu jika tidak ingin rugi sedikitpun.
Contoh keputusan yang perlu dibuat adalah tawaran kerja.
Pilihan A : Naik pangkat tapi turun gaji
Pilihan B : turun pangkat atau tetap tapi gaji naik
Financially-driven people bisa jadi memilih A karena gengsi, bisa juga pilih B karena yang penting lebih cuan. Purpose-driven people mungkin memilih A untuk mendapat pengalaman baru, atau B ketika merasa cukup dengan yang dimiliki. Dengan hati-hati memilih yang dampaknya dapat memperbaiki dirinya.
Orang tuaku menggunakan kedua metode sejak menikah. Hemat akut di berbagai bidang sembari mendukung pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Mereka berdua tahu bahwa yang kompetitif dan handal lebih menang dari yang berbakat tapi malas dan licik. Mereka juga percaya bahwa Tuhan akan membantu mereka yang berusaha demi kebaikan, sehingga tidak takut miskin karena pengeluaran besar demi kebaikan. Ekonomi kami jauh lebih baik sekarang, namun masih tergolong aspiring-middle class (calon kelas menengah) yang bisa relate dengan kelas menengah dan menengah ke bawah.
Dalam pandanganku, seseorang dapat menemukan keseimbangan antara kedua metode itu. Dengan mempertimbangkan dengan baik daftar prioritas mereka sambil memikirkan dampaknya pada masa depan mereka. Sembari berintrospeksi diri dengan topik ini, aku menyadari betapa pentingnya edukasi demi hidup yang lebih baik. Betapa mudahnya menggapai kesempatan emas, bagaimana hal-hal saling berhubungan, serta bagaimana rencana tidak selalu gagal dan dapat direncanakan lebih baik lagi. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan jika aku terburu-buru bekerja di umur muda. Aku kini dapat membuktikan bahwa bekerja dengan baik tidak berarti kerja di kantor.
Pembahasan ini membuatku lebih sadar pada cara orang tua memperlakukan anaknya dan alasan mereka mengambil keputusan tertentu. Aku bisa mengembangkan kemampuanku dan menambah hubungan sosial dengan orang-orang untuk lebih paham cara kerja masyarakat. Aku berharap untuk bisa mempelajari bagaimana orang tua melihat edukasi dan dampaknya pada masa depan anak dan mendengar opini mereka tentang keputusan dan realita.
Sumber gambar: https://www.kompasiana.com/amp/bobbimantara2936/5c37501f677ffb5b4e755217/uang-dan-pendidikan-sumber-kebahagiaan