Oleh: Penyair Amatir
Malam itu, Intan Pariwasata gerah. Kepalanya tiba-tiba seperti diketok-ketok palu. Sakitnya luar biasa. Pertama ia bisa menahannya dengan memikirkan segala hal yang menyenangkan.
Hari itu ia mendapat amplop yang berisi beberapa puisi yang ditulis kekasihnya. Senangnya bukan main Intan Pariwisata menerimanya. Membaca kata-kata yang berhamburan dari puisi yang ia terima. Cinta benar-benar mencengkramnya dalam kebahagiaan.
Namun lama kelamaan bayangan itu memburam. Bentengnya ambruk. Karena tak kuasa lagi menahan serangan yang dahsyat itu di kepalanya, ia berteriak histeris. Saking sakitnya, ia membenturkan kepalanya di dinding. Untung saja, salah seorang temannya segera sigap. Tubuh Intan Pariwisata dipegangnya sekuat tenaga. Untuk sementara, kepalanya tidak sampai bocor menghantam tembok.
Tak berselang lama, empat temannya telah memegangi tubuhnya. Bahkan, mulutnya telah disumpal kain. Intan Pariwisata sekuat tenaga berontak. Menyalurkan sakit yang menghantam kepalanya. Celananya basah. Intan Pariwisata sampai terkencing-kencing.
Beberapa temannya yang memegangi kakinya mengumpat. Tetapi tak sedikitpun mereka mengendorkan cengkramannya. Salah satu temannya yang baru datang, punya ide. Segera ia mengambil wadah dan diisi air dari kamar mandi. Dengan lagak komat-kamit ia siramkan ke kepala Intan Pariwisata.
Ajaib. Intan Pariwisata pelan perlahan mulai mengendurkan kekuatan tubuhnya. Ia tidak lagi berontak. Tubuhnya menjadi lemas. Saya segera mengambil kain yang menyumpal mulutnya. Kain tersebut basah oleh ludahnya.
***
Intan Pariwisata yang terkuras tenaganya, tertidur. Beberapa teman menyuruh saya untuk menghubungi keluarganya. Tentu saya menolak. Saya pikir, terlalu gegabah bila langsung ke arah sana. Setidaknya, apa yang dialami oleh Intan Pariwisata harus diketahui dulu.
“Tunggu dia bangun. Nanti kita ajak bicara. Bisa jadi ada hal yang tidak kita duga. Misalnya saja, dia lagi depresi sehingga perilakunya begitu. Ya, katakan untuk menguras pikiran buntu. Bisa saja kan?”
Teman-teman menatap saya. Sebagai orang yang tidak pernah memperdalam dunia psikologi, sepertinya pendapat saya sangat mudah untuk dibelokkan. Tetapi sialnya, mereka seperti mendengar kuliah dari guru besar.
Selepas isyak, Mila berlari ke arah saya. Nasi goreng yang baru saja akan saya suapkan ke mulut, saya tahan. Padahal perut saya tidak bisa diajak kompromi.
“Intan. Intan.”
Demikian lelaki berkacamata itu sambil terengah-engah. Sontak saya langsung bangkit. Berlari menuju kontrakan.
Intan Pariwisata kembali mengerang. Teman-teman berusaha sekuat tenaga menahan tubuh itu. Seperti sebelumnya, ia hendak menubrukkan kepalanya ke dinding.
Saya langsung mengambil kain dan menyumpal mulutnya. Matanya melotot. Sekuat tenaga ia mengguncang tubuhnya. Sementara kami sekuat tenaga pula melawannya. Hingga ia kembali mengendurkan tenaganya. Kembali seperti yang telah terjadi, ia tampak sangat kelelahan. Matanya ia pejamkan. Tak berselang lama kembali ia tertidur.
Beberapa teman sepakat agar saya menghubungi orang tuanya. Mereka mengancam akan melapor pada pemilik kontrakkan.
Karena tak punya pilihan lain, saya menelpon Om Bondan. Beberapa kali panggilan saya diabaikan. Hingga dering ke empat, sebuah suara serak membalas salam saya.
“Om, ini Berlin. Om lagi di mana?”
Suara batuk-batuk Om Bondan terdengar menyedihkan di seberang sana.
“Oh. Berlin. Berlin yang mana?” lalu diikuti suara batuk-batuk yang semakin hebat.
“Teman kuliah Intan Pariwara. Yang bulan lalu itu lho om..” saya berusaha menunggu suara batuk itu reda.
“Oh. Ya ya. Saya ingat. Ada apa Nak Bermin”
Tiba-tiba saja Intan Pariwara sudah berada di depan saya. Meminta gawai saya. Saya yang masih belum siap, memberikannya begitu saja. Ia langsung mematikan panggilan.
“Eh, anu maksudnya…” saya tiba-tiba tidak bisa menjelaskan padanya.
“Terima kasih Ber. Aku tidak apa-apa.” Intan Pariwisata tersenyum. Lalu menyerahkan gawai sebelum menghilang dari muka saya.
Keesokkan harinya, Intan Pariwisata pindahan. Ia bilang pada kami, jika ia akan tinggal di rumah saudaranya. Sementara yang saya tahu, ia tidak punya saudara di kota ini. Ketika saya konfirmasi, ia sepertinya tersinggung dengan ucapan saya. Maka saya memilih untuk menahan diri. Itulah kali terakhir saya melihat Intan Pariwisata.
Semenjak kepindahannya yang mendadak dan penuh misteri, ia tidak pernah kelihatan di kampus. Ia menghilang begitu saja. Ketika suatu kali saya menelepon ayahnya, saya hanya disuguhi suara batuk-batuk yang mencemaskan. Suara saya disedot oleh batuk-batuk mengerikan itu.
Saya tidak begitu akrab dengan Intan. Bukan hanya Intan, teman satu kelas saja tak ada satupun yang dekat dengan saya. Apalagi Intan ini, kami beda fakultas. Kebetulan saja kami satu kontrakan. Kebetulan lainnya, saya pernah diajak ke rumahnya.
Ketika itu, ia butuh teman untuk menemaninya pulang. Kenapa saya menerima ajakannya, saya sendiri juga bingung. Ia mengetuk pintu kamar saya malam itu. Lalu cerita jika dirinya harus pulang saat itu juga. Tetapi ada hal yang tidak secara jelas ia katakan, tapi pointnya dia perlu teman ngobrol selama perjalanan.
Anehnya, ketika saya mengingat momen itu tak satupun detail yang saya ingat. Kebersamaan saya dengan Intan di rumahnya raib begitu saja. Sekeras apapun saya mencoba mencari kenangan itu, seperti membentur tembok.
Justru, adegan sore itu yang membekas di kepala saya. Saat Intan membenturkan kepalanya ke tembok. Ketika dia meronta-ronta sambil berteriak kesetanan. Waktu dia tiba-tiba berada di hadapan saya dan meminta gawai.
Ingatan itu seperti disegarkan setiap hari. Sehingga kadangkala saya bingung, apakah saya ada masalah dengan Intan Pariwisata. Kok sampai-sampai kepala saya begitu kukuh menyimpannya. Tidak hanya menyimpannya, tapi juga memberikan sensasi tiap waktunya.
Bertahun-tahun setelah itu, ketika anak saya yang pertama lahir, saya menamainya dengan Intan Pariwisata. Pertama, suami saya mencak-mencak. Setelah itu saya berjanji jika anak kedua nanti, saya pasrahkan kepadanya perihal nama. Barulah dia mau terima.
jmd, 14/10
meleleh
*Penulis merupakan salah satu pengajar di SMA Khadijah
Gambar oleh ms.lifehackk.com