Oleh: Frida Dimis Adellia
Ragaku tertarik pada kayu lemari reot. Penuh debu, sesak sekali. Ingatanku lenyap entah ke mana. Sinar datang menghampiri, seketika aku tersadar. Terbuka mataku lebar, nampak hutan rimba seperti dongeng.
Terlihat manusia berona biru berambut panjang. Diriku lari terbirit-birit hingga menyadari jika aku memiliki rona kulit biru pula.
“Halo! Siapa namamu gadis jelita?” tanya dirinya
“Perkenalkan saya Nala, kali pertama menginjakkan kaki di sini.” jawabku penuh ketakutan
“Nama yang cantik, saya Ali. Dirimu ternyata orang baru. Mari, maukah berjalan bersamaku?”
“Baiklah, saya yakin dirimu seseorang yang baik.”
Baskara bersinar terik, kicauan burung mengiringi. Tirta mengalir penuh melodi. Rumah yang terhimpit pegunungan indah nampak begitu nyaman. Diriku bersama Ali mengunjungi rumah warga, seraya menunggangi kuda.
“Lihat ini semua, saya membawa siapa?” sahut Ali pada warga
“Wah gadis yang anggun sekali.”
Para warga begitu kagum melihat sang durja Nala penuh kharismatik. Pikiranku begitu kalut selepas menyaksikan seluruh warga di sini berona biru dan memiliki rambut keriting. Meski begitu, mereka berbincang dengan bahasa yang aneh. Tetapi, entah mengapa diriku bisa memahaminya.
Rumah Ali begitu megah, tumbuhan indah memenuhi selasar. Tak puas diriku mengelilingi rumah yang tiap sudutnya menggores memori. Meski baru kali pertama bertemu, diriku dengannya serasa teman dekat yang saling melepas rindu.
Ali denganku berkunjung ke beberapa tempat dengan penuh tawa. Pikiranku begitu berisik mengenai mengapa diriku dapat menembus semesta lain ini. Tatanan kota yang begitu damai, membuatku terheran.
Bagaimana bisa sebuah air terjun mengeluarkan cahaya lentik gemericik. Serta detik arloji yang eksentrik dengan waktu berputar terbalik. Semuanya membuatku tersadar, bahwa kini jiwa ragaku terjerat semesta cantik ini. Aku coba memejamkan mata, dan melupakan penat sejenak.
“Ayo, kita harus bisa menghancurkan bangsa lain.” seru Ali penuh amarah
“Baik adipati, kita harus memerangi bangsa merah.”
“Atau kita gunakan tipu daya mereka agar menjadi bangsa kita?” Tanya salah satu warga
“Hahaha! Boleh juga, aku geram sekali dengan bangsa itu! Bisa-bisanya mereka berpikir bahwa mereka adalah bangsa terbaik di dunia, jangan biarkan itu terjadi. Tetap bangsa kita adalah yang terbaik.” Ali begitu memerah panas
Ketika Ali mengatakan hal itu, tak seorang pun yang mengetahui jika Nala mendengar seluruh huru-hara yang terjadi pada desa ini. Ternyata, desa ini memiliki konflik peperangan yang ingin meraih gelar bangsa terbaik.
Sang fajar indah bersama kabut tebal semburat pagi hari. Teringat kemarin, kini akan terjadi sebuah peperangan besar antara bangsa Ali dengan merah. Nala begitu terusik hingga ingin menemui Ali.
“Ali, di manakah dirimu?” Suara Nala bergaung keras
“Temui aku di atas pohon ini” Ali sedang merancang senjata yang hendak dipakainya nanti
“Ali, dengarkan diriku. Hentikanlah peperangan bangsa ini, semua itu hanya akan membekaskan debu. Semua bangsa memiliki ciri khas yang baik, tak perlu hingga berperang seperti itu. Ingatlah kalian bersaudara.” jawab Nala hati-hati.
Namun, Ali tetaplah Ali yang begitu angkuh terhadap suku bangsa lain. Dirinya begitu terobsesi pada kemenangan beserta jabatan besar. Setelah mendengar celoteh Nala, Ali justru begitu membara penuh emosi.
“Apa yang kau bicarakan? Jawab Nala!” Teriak Ali dengan mencekik leher Nala
“Jangan-jangan, dirimulah mata-mata bangsa merah. Jika benar begitu, tak segan ku akan menghabisimu!”
Mendengar itu, diriku langsung bersujud memohon maaf kepada Ali seraya memohon ampunan. Kini, diriku terkurung lemas di kamar sepi. Hanya tangisan yang dapat aku keluarkan. Akan tetapi secara tiba-tiba….
Duk!!!
Sebuah kitab kuno terjatuh dari atas lemari menimpa kepalaku. Rasa penasaranku yang bergejolak, tak lama ku raih kitab itu dan membukanya perlahan. Pada halaman pertama, sebuah foto gadis berkarisma persis dengan parasku. Gadis itu bernama Rahayu Ananta. Dahulu dirinya seorang dewi yang rela berujung nyawa demi memperjuangkan bangsanya. Pada kisahnya tertulis, akan ada seseorang yang datang pada semesta ini mirip seperti karismanya dan membawa keselamatan.
“Apakah orang yang terpilih itu adalah diriku? Lalu bagaimana ku bisa keluar dari zona ini” monologku bersorak Sorai
Aku buka kembali, halaman selanjutnya. Tertulis bahwa, jika ingin terlepas dari semesta ini dirinya harus menyelesaikan misi memberantas peperangan hingga beriring kedamaian.
Konflik yang terjadi bukan hanya karena sebuah suku terbaik, melainkan perbedaan warna kulit hingga keagamaan. Ternyata, peperangan ini sejak zaman dahulu berulang kali terjadi. Namun, tiada satupun yang bisa menghentikannya.
Nala bertekad kuat, dirinya akan menghentikan peperangan ini bagaimanapun caranya.
Ia keluar dengan memanjat jendela hingga terjatuh tepat di atas punggung seekor kuda, lantas langsung menungganginya. Angin malam begitu kelam, tersisa Nala yang terhampar pada suku merah.
“Kau pasti suku Ali.” jawab Rama sang pemimpin suku merah seraya menodongkan pedang
“Benar, tapi di sini saya akan menolongmu.” jawab Nala penuh yakin
Rama tak mudah percaya, hingga Nala membuktikan jika dirinya bukanlah seorang mata-mata dengan meneguk segelas minuman khas suku merah. Rama terkejut, dan yakin jika Nala bukanlah suku Ali. Nala bersama Rama mengatur berbagai strategi untuk memulai peperangan yang akan datang. Tetapi Nala tetap menyimpan rahasia membisu.
*******
Peperangan pun tiba, Nala bersama Rama berpihak pada suku merah. Berbagai prajurit hingga pangeran bersiap penuh api meraih kemenangan. Sedangkan bangsa Ali, penuh gagah membawa seribu pasukan dengan ksatria elit.
“Lihat saja Rama, akan aku bakar semua kitab sucimu dan memperbudakmu seumur hidupku Hahahaha!!!” Kesombong Ali begitu besar
Ali memandang Nala penuh emosi, hingga peperangan pun dimulai. Darah bercucuran deras. Berbagai warga bergelimpangan tak memiliki daya. Satu-persatu terkalahkan. Ali bersama Nala bertemu tanpa sengaja, dengan baju Ali berlumur darah.
“Akan aku bunuh kau Nala! Kau membuatku kecewa setengah mati.”
“Bunuh saja jika bisa, akan aku buat negeri bangsamu itu menjadi lautan luas.”
Mendengar hal itu, raga Ali merinding. Sebab, dirinya teringat berbagai kutukan yang ada pada kitab Rahayu itu. Daya pikir begitu ramai, membuat Ali sedikitnya tak percaya jika benar adanya bahwa Nala sebenarnya seorang Dewi Rahayu.
“Benar Ali, akulah Dewi Rahayu yang mencuri raga gadis mungil ini.”
“TIDAK! Dirimu berbohong, Dewi Rahayu telah tiada seratus tahun lalu.”
“Diriku rela, meninggalkan bumi hanya untuk menjemput dirimu pada semesta negeri.”
Semua mimpi buruk Ali kini tinggal detik waktu. Segalanya terlambat, Ali mengingkari sumpah adipati yang buta akan tahta, jabatan, dan kemenangan.
Tetapi, Nala telah menolong suku merah untuk bisa beribadah tenang kembali, dan tak perlu merasa takut akan rona kulit sendiri. Petir menyambar deras dengan sumpah Ali.
“Ikrar Ali, bersumpah tanah air yang satu, bersaudara dengan perbedaan”
*Penulis merupakan pelajar SMP Alkhairiyah Surabaya yang mendapatkan juara 1 lomba Cerpen di Moslem Teenagers Competition yang di adakan oleh Osis SMA Khadijah
Pict: Ambil gambar di sini
239 total views, 1 views today