Oleh: Alisyia Bilbina
Sepasang netra gelap milik perempuan bersurai legam itu tampak lelah, wajahnya pucat dan kuyu. Pakaian serba hitamnya tampak dikenakan asal-asalan. Meski sudah satu jam berlalu, ia masih enggan angkat kaki dari tempat duduknya. Seolah tengah menunggu seseorang untuk datang.
“Sampai kapan akan melamun terus?”
Mengerjap, sosok berambut legam itu menoleh kepada rekan kerjanya yang baru saja duduk di hadapannya. Lintang, perempuan berambut biru yang memiliki mata hazel terang nan cantik. Perempuan itu adalah senior Lilith. “Kau mengagetkanku, Kak.”
Lawan bicaranya mengangkat alis. “Sungguh?” Si surai biru itu diam sesaat, seolah memikirkan sesuatu yang krusial. “Ah, aku lupa kalau kau payah dalam berekspresi.”
“Ada apa?” Lilith bertanya langsung.
Sang senior memutar bola mata. “Benar-benar, deh. Kau ini susah sekali-“
“Kak Lintang,” potong Lilith, sepasang netra yang tampak hampa itu menatap lurus. “Aku sedang tidak punya energi lebih untuk menanggapimu.”
Lintang kontan mengatupkan bibir. Ia memaklumi dan mengangguk paham. Lilith memang dingin dan tak suka orang yang banyak bicara. Lantas, Lintang merubah air muka menjadi serius sebelum kemudian mengeluarkan selembar foto dari balik jaketnya. Menyodorkan kepada Lilith. “Target selanjutnya,” ucap Lintang menjelaskan. “Kau hanya perlu menyelidikinya, seperti biasa. Sisanya biar aku dan divisi sebelah yang urus.”
Lilith meliriknya sekilas. “Gembong narkoba?”
Lawan bicaranya menggeleng. “Bukan. Sepertinya lebih berbahaya. Bisa saja ia pengendali pasar gelap yang selama ini kita incar, barangkali? Klien kita kali ini bersikeras bahwa orang ini yang membunuh suaminya.”
“Siapa?”
Mengedarkan pandangan guna memeriksa keadaan, Lintang berikutnya mencondongkan badannya, berbisik pada Lilith. “Korban pembunuhan sadis itu, pengusaha batu bara yang kemarin kita bicarakan,” bisiknya hati-hati. “Pembunuhnya sadis dan tak kenal ampun. Pokoknya dia tak waras dan berbahaya.”
Lilith tersenyum tipis. Kematian tidak terdengar buruk baginya. “Senang mendengarnya.”
Lintang mendesis tak senang serata menatap tajam. “Apa kau baru saja berpikir bahwa kau akan mati secara heroik?”
Sosok berwajah pucat di hadapan Lintang menaikkan satu alis. “Heroik?”
“Gugur ketika menjalankan tugas, bukankah itu terdengar heroik?”
“Entahlah. Malah terdengar konyol bagiku,” sahut Lilith seraya mengendikkan bahu. “Sama saja seperti kau dijadikan batu lompatan untuk mencapai keberhasilan, ‘kan?”
Menyandarkan punggungnya pada kursi, Lintang melipat tangan di depan dada dan menatap tajam untuk mengintimidasi juniornya. Ia jelas menunjukkan ketidaksetujuannya perihal yang baru saja Lilith tuturkan. Bekerja menjadi detektif memang tidak mudah, tapi itu yang menyenangkan.
“Ayolah, Kak. Aku tidak semurah hati itu. Mana sudi aku mati demi tujuan orang lain.” Tetapi nyatanya, Lilith selalu tergoda untuk mati lebih cepat.
Menghela napas panjang, Lintang menatap tepat pada sepasang mata sang junior. Ia jelas tahu Lilith takkan sudi mati untuk orang lain, tetapi bukan berarti itu akan mengurangi probabilitas Lilith untuk melakukan tindakan-tindakan tak lazim yang bisa saja mengancam nyawanya sendiri. Mental Lilith tak stabil setelah gadis itu menyaksikan bagaimana partnernya tewas dengan mata kepala sendiri. “Aku tahu kau sudah bosan hidup,” ucap Lintang, intonasinya kedengaran lebih serius dibanding sebelumnya. “Tetapi bukan berarti kau dapat bertindak semaunya dan melupakan fakta bahwa kau adalah salah satu detektif paling kompeten di divisimu.”
Semua rekannya tahu bahwa Lilith kerap menantang maut, dia bertingkah seolah esensi nyawanya sama sekali tak berarti. Gadis itu pantang menolak misi-misi berbahaya yang bisa saja mengancam nyawanya. Ia akan menghilang selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk menjalankan misi penyamaran, lalu kembali ke rumah seolah ia baru saja pulang dari liburan panjang nan menyenangkan. Lilith adalah detektif paling gila yang pernah ditemuinya. Gadis itu benar-benar gemar mendekati kematian. Lintang sampai tak habis pikir dibuatnya.
“Aku tahu,” sahut Lilith.
“Oleh sebab itu, aku akan menerima kasus ini.”
Dan lagi-lagi, kali ini ia akan pergi menyongsong bahaya, mendekati kematian, seperti yang sudah biasa ia lakukan.
Penulis merupakan siswi SMA Khadijah kelas X
Source: cehca.com