Oleh: Nur Syifa Ramadani
Jika kalian bertanya kepada diriku 2 tahun lalu, kejadian apa yang paling tidak terlupakan ketika berada di Malioboro, aku akan menjawab tidak ada. Saat itu tidak ada suatu kejadian yang berbekas di ingatanku, kecuali tragedi kopi yang tumpah di makanan yang ku beli di Malioboro. Namun jika kalian menanyakan hal yang sama padaku saat ini, aku akan menjawab saat kembali ke hotel, tepatnya di hari kedua.
Saat itu aku dan teman-temanku sudah sibuk merias diri demi puncak acara wisata Jogja, free time di Jalan Malioboro. Berbagai wacana sudah kami bicarakan ketika kami saling menunggu yang lain bersiap. Makan gelato, ke rumah hantu, dan lain sebagainya.
Setibanya di sana, kami pun melakukan hal-hal yang kami inginkan. Saat itu aku tidak ikut ke rumah hantu dikarenakan diriku yang tidak cukup berani untuk memasuki wahana tersebut.
Aku pun menemani teman-temanku yang lain berbelanja. Kami saling berbagi cerita sembari berjalan. Salah satu temanku mengatakan bahwa ia membawa alat pelindung diri sebagai bentuk antisipasi, lalu aku kembali memandang diriku. Bagaimana bisa seorang perempuan tidak memiliki setidaknya satu alat untuk melindungi dirinya? Ku keluarkan payungku dan ku gantung di kaitan tasku. Yah, setidaknya aku bisa membela diriku dengan satu pukulan telak dengan payung biru kesayanganku.
Tak terasa, waktu berjalan cukup cepat. Teman-temanku yang tadinya mengunjungi Rumah Hantu Malioboro sekarang sudah berada di salah satu toko gelato (makanan penutup terkenal dari Italia) yang cukup terkenal di Jalan Malioboro. Aku dan teman-temanku yang berbelanja pun pergi ke titik kumpul.
Setibanya disana, kami pun memesan gelato dan memakannya bersama. Ku lirik handphone di genggaman ku, waktu sudah menunjukkan jam 10 kurang 1 menit. Iya betul. Satu. Menit. Di jam 10.30 WIB kami diharuskan sudah berada di hotel dan beristirahat untuk besok.
Menurutku, waktu 31 menit untuk memesan taksi online dan perjalanannya dari Jalan Malioboro yang macetnya minta ampun tidaklah cukup. Setidaknya kami akan terlambat 5–10 menit lebih. Aku sudah bisa membayangkan diriku terkena sanksi oleh tim keamanan karena melewati jam malam. Teman-temanku masih berusaha memesan taksi online sembari berjalan menjauhi jalanan padat itu. Hari sudah semakin malam, waktu yang tersisa semakin sedikit, tetapi kami semua belum juga mendapatkan driver yang bersedia mengantar kami.
Hanya ada satu solusi. Berlari menuju hotel. Ide gila sebenarnya, tetapi ujung-ujungnya kami lakukan. Kami berempat berlari kecil sembari mengejar waktu.
Dengan bantuan Google Maps kami menembus jalanan dikala rintik hujan mulai turun. Nirbita berada di depan, memimpin kami disusul aku sebagai maps reader. Lely dan Ahran berada di belakang.
Sembari kami berlari kecil, aku sempat melihat keadaan di sekeliling sembari mengingat jalan yang kami lalui sebelumnya. Yah, ternyata jalan yang diarahkan Google Maps merupakan jalan yang kami lalui ketika kembali dari Obelix Village. Kami juga saling berdebat kecil tentang jalan yang kami lalui.
Lampu penanda hotel sudah terlihat ketika waktu menunjukkan pukul 10.27. Nirbita yang melihatnya bergegas lari menuju hotel disusul aku. Sedangkan Lely dan Ahran melambatkan langkah mereka. Ketika aku memasuki lobby hotel, aku reflek merebahkan badanku di lantai.
Berjalan cepat dari Malioboro sampai Hotel dengan jarak hampir 2 km SANGAT MELELAHKAN. Ya, setidaknya dari kejadian ini aku bisa mengambil beberapa pelajaran. Mungkin lain kali aku akan lebih aware dengan waktu. Tetapi, momen seperti ini tidak akan terulang dua kali, hehe.
–Penulis merupakan siswa kelas X-1 yang sedang menunggu When The Phone Rings tamat
150 total views, 6 views today