Pulang

MERDEKA BELAJAR DAN KONTEKSTUALISASI PENDIDIKAN

Oleh: Penyair Amatir

Momen hari pendidikan tahun ini sangat spesial bagi saya. Bukan karena saya naik pangkat atau dapat medali dari pejabat negara atau misal lainnya dijadikan cawapres, melainkan karena saya dapat mengantar anak saya sekolah.

Saya menyukai pekerjaan itu. Bediri di depan pintu gerbang. Melihat keduanya berbaur dengan teman-temannya hingga salim dengan guru-gurunya.

Tentu saja saya punya harapan besar. Anak-anak saya bisa menemukan banyak pengalaman di sekolahnya. (Anak pertama saya kelas 2 MI – Anak kedua di bangku TK A). Yang kelak, pijakan itu bisa menjadikan keduanya manusia yang memiliki budipekerti luhur serta cerdas baik intelektual, emosional, hingga sosial.

Hal itupun yang juga saya harapkan dari murid-murid saya di kelas yang saya ampu. Semuanya tanpa terkecuali. Yang pada (diri tiap individu) memiliki pengalaman serta pandangan beragam. Yang oleh karenanya (menurut saya), terlalu konyol memberi stigma negatif atas ketakpahaman dari satu sisi semata.

Pak Nadiem dengan Merdeka Belajarnya bilang jika pendidikan harus memberikan akses seluas-luasnya terhadap minat, bakat, dan potensi peserta didik. Sehingga siswa (atau apapun namanya) menjadi subjek dengan segala keunikannya.

Yang kemudian membuat “pengajaran” bergeser lebih humanis menjadi “pembelajaran”. Yang membuat relasi kuasa di kelas bisa direduksi sedemikian rupa. Pengajar (atau apapun namanya) menjadi fasilitator. Bukan si mahatahu alih-alih hakim.

Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? | demikian Rendra berujar dalam salah satu sajaknya di tahun 1975

Pendidikan dengan segala urusannya harus berseiring dengan perkembangan zaman. Saya sebut dengan kontekstualisasi. Rendra benar, bahwa apa yang didiskusikan di sekolah bukan segala sesuatu yang terputus dengan kenyataan yang ada di luar sekolah. Jika itu terjadi, sekolah hanya akan menghasilkan manusia yang asing dengan lingkungannya.

Tetapi lebih daripada yang saya tulis di atas, budi pekerti luhur dari pembelajar (baik guru atau siswa) harus berada di garda paling depan. Sebagi pemandu minat, bakat, serta potensi yang dimiliki. Sehingga akan lahir generasi yang teguh pada norma kebajikan.

Sejenak, mari kita bergeser ke berita hari ini. Di halaman depan rubrik metropolis Jawapos (2 Mei 2023). Kembali terjadi di Surabaya, rudapaksa yang korbannya siswi SMP. Kronologinya komunikasi via medsos. Ketemuan hingga berujung pemerkosaan oleh sejumlah laki-laki. Persis dengan kejadian sebelumnya di kota yang sama.

Sebelumnya juga terbongkar kekerasan/pelecehan seksual di lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal. Juga bulying/perundungan yang menjadi tradisi dari tahun ke tahun di lingkungan bernama sekolah.

Pendidikan bukan hanya tentang minat, bakat serta potensi semata. Tapi ia harus dipandu oleh budipekerti luhur. Yang tentu dibangun dari kultur semenjak dini. Yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Serta kebijakan pemerintah yang komperehensif.

Oleh karena itu, terlalu sederhana (menggampangkan) mengatakan solusi itu ada pada kebijakan Merdeka Belajar. Apapun slogannya. Misalnya saja tahun ini: Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar.

Prambon, 2 Mei 2022
pinggir jalan

Pict: Ambil gambar disini

294 total views, 1 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *