Puisi

Puisi – Puisi Amatiran

Kisah Di Sebuah Ruang Tunggu

Di bangku ruang tunggu
Seorang pemuda yang kasmaran
Bercerita tentang pacarnya.

Ia tidak bicara pada saya.
Sebab di ruang tunggu hanya
Kami berdua, maka saya menegurnya.
Ia hanya sebentar melirik.
Matanya dingin, meninju rasa ingin tahu.
Lalu kembali bercerita.

Ketika orang orang berdatangan memenuhi kursi berjajar rapi

Di ruang tunggu,

Ia tak jua berhenti. Orang orang juga tak ambil pusing.

“Ia bicara dengan jam dinding”
Lelaki tua di sebelahku
Berbisik di telinga kananku.

“Pacarnya mati di zaman penjajahan
Belanda. Kena mortir di kepalanya.”

“Ini sudah zaman reformasi” tukasku.

Tak dinyana, mata pemuda itu menatapku. Tidak lagi dingin.
Tapi menyakitkan. Lalu
Kembali mengabaikan. Kembali bercerita.

Orang-orang disekitar saya mengabaikannya.
Pemuda kasmaran itu mengabaikan saya.
Lelaki tua di sebelah akhirnya pun saya
abaikan juga.

Akhirnya,
Saya tidak tahu bagaiamana mulanya,
Ruang tunggu penukaran voucher
Anti miskin itu,
Dipenuhi serdaduserdadu Belanda.
Mereka tampak beringas
Memandang saya. Lalu mereka menembaki
dirinya sendiri.

Sementara pemuda kasmaran itu
kembali mengobral ceritanya.
Dan tibatiba pemuda itu
wajahnya menyerupai
wajah muda saya.
Persis.

“Berhentilah berharap
kaya” suara itu
kembali mengisi
telinga kanan saya.

Ia tertawa dan sepi

Lumajang, 6 Juli.2017

Bercakap Dengan Angin

Sepanjang jalan
Yang telah kami lewati
Orang-orang nampak sibuk sekali
Bercakap cakap dengan angin.

Angin adalah udara yang bergerak,
Begitu kanak-kanak dijejali
Informasi ngilmiah di bangku
Sekolah. Saya masih ingat,
Gara gara lupa itu
Tanganku di aniaya penggaris kayu.

Sepenglihatan saya
Angin tak sedikitpun merespon
Percakapan tersebut. Orang-orang
Sepanjang jalan yang kami
Lewati nampaknya tak peduli.
Mereka terus saja memuntahkan
Isi kepalanya. Lalu tertawa.
Sebagian menangis meraungraung.
Ada pula yang sinis. Sok pinter.
sok kaya. Sok cantik. Sok alim.

Sepanjang jalan
Yang akan kami tempuh
Bisa jadi demikian adanya.

Atau bisa pula entahlah

4/7/17
Lumajang

Kamar Kosong Delapan Sudah Tiba

Botol-botol infus berkumpul
Di bangsal rumah sakit itu.
Mereka berbincang
Melepas rindu.

Setelah
Perjalanan jauh,

Tangan mengkilap suster
Bernama Maria itu
Menyuguhkan kabar duka.

Satu diantara mereka,
Harus segera berkemas.
Sebelum subuh tiba
Botol infus dengan terisak
Menyeret kakinya menuju
Peristirahatan.

Tak mungkin kembali
sebab tak ada yang abadi.
Ia memahaminya.
Sangat memahaminya.

Ia pun pergi

7/6/17


Penyair Amatir: Seseorang yang suka berhalusinasi dan mungkin saja mencintai puisi

Cr : cit

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *