Opini

Sabar, Ini Ujian

Oleh: Zhafira Hanina

Satu hari sebelum Ujian Praktik, kami diperingatkan ujian praktik jangan dibuat sebagai ajang berlomba-lomba untuk mencari nilai, tapi diniatkan sebagai ibadah kepada Allah SWT, agar kami mendapat ketenangan dan tak khawatir soal angka yang tertulis di atas kertas. Hanya perihal nilai, seharusnya bukan menjadi prioritas kami, karena pada dasarnya ujian praktik poin utamanya adalah bagaimana penerapannya di dunia nyata. Namun, tentu saja kami tak lulus berdasarkan pahala atau dosa.

Kelas kami memulai ujian praktik dengan mata pelajaran biologi yang materinya sungguh tak main-main. Dari banyaknya lembaran kertas, banyaknya teori yang harus dihafal, dan juga pelajaran yang tak kami kuasai namun tetap harus dipahami. Jika melihat banyaknya lembaran kertas, nyali sudah ciut duluan. Terlepas dari kertas yang menumpuk, kami tak benar-benar punya jaminan dan keyakinan untuk lulus dalam ujian praktik ini.

Selain agama dan bahasa, semua mata pelajaran menguji materi yang tak kami pelajari di kegiatan belajar mengajar biasa di kelas, atau mungkin materi yang kami benci karena susah lalu dibuang begitu saja.

Di hari pertama, banyak keluhan di kelasku yang mendapat jadwal ujian agama terlebih dahulu daripada kelas sebelah. Namun, itu menjadi berkah di hari kedua, karena panjang durasi yang dibutuhkan untuk menguji seluruh siswa di satu kelas, kami terlambat mengikuti ujian yang selanjutnya. Molornya waktu, juga berakibat ke kelas seberang yang akhirnya selesai ujian hampir jam 3 sore.

Aku paham alasannya, apalagi materi yang diujikan cukup serius dan berhubungan erat dengan kehidupan sehari-hari, namun nyatanya masih banyak orang yang tak paham dan tak tahu. Guru harus berulang kali menjelaskan dengan motivasi muridnya mendapat ilmu yang benar dan tak salah mempraktikkan. Desakkan waktu mengakibatkan cemas karena kami takut tak mendapat giliran dan harus menunggu susulan di minggu depan, yang artinya kami harus belajar ulang. Rasa cemas ini mengakibatkan 2 hal, bisa membuat kami hanya berpikir tentang waktu dan melupakan pelajaran yang sudah dipelajari, atau justru malah belajar semakin giat.

Ketakutan akan gagal masih tertanam di dalam diri siswa, seperti ku. “Melihat dari yang dialami teman-teman, aku merasa tak siap dan pada akhirnya aku meminta untuk susulan. Toh jaminan ku untuk lulus ujian kecil sekali.” Ujar seorang temanku di hari kedua ketika praktik agama.

Ku akui, hari kedua memang kacau sekali. Banyak siswa yang remidi tanda ketidaksiapan, bisa dalam belajar atau dalam menghadapi pertanyaan penguji yang cukup menusuk dan memelintir otak. Yang diuji bukan hafalan atau ingatan, tapi pemahaman yang memerlukan usaha dan niat yang lebih.

Perasaan ku di hari kedua ikhlas atau lebih tepatnya pasrah, melihat waktu sudah lewat 2 jam dari jadwal yang sudah ditentukan. Hal ini cukup membantu, aku tak terlalu pusing memikirkan bagaimana bentuk nilaiku, atau apakah kami sempat mengejar waktu. Tujuanku satu, tuntas, dalam banyak arti. Tuntas ujian, dan juga menuntaskan pemahaman.

Sering kali, aku bertukar kata dengan temanku dari kelas lain, bertanya bagaimana pengalamannya mengikuti ujian. Karena belajar dari pengalaman orang lain, lebih mudah daripada punya sendiri.

“Kamu tadi ujian xxxx kan? Gimana? Susah gak?”

“Banyak-banyak berdoa aja,” balasku.

Source pict: Google.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *