Oleh : Shafa Amanda Wirawan
Turcham.com – Gadis remaja bertanktop hitam dipadu celana jeans pendek berwarna biru pudar itu membiarkan kedua kakinya terus terayun tak berirama setelah ia duduk di pinggir atap gedung 3 lantai. Rambutnya yang tergerai mulai mengikuti liuk tiupan angin. Ia menengadah ke langit, membuat netra legamnya buta sesaat sebab sinar bagaskara. Terdengar helaan napasnya diantara deru suara angin. Diantara lamunannya ia teringat tentang sosok yang paling tak bisa ia lupakan. Sosok itu dulu pernah berjanji padanya namun tak pernah ditepatinya.
“Kamu tunggu disini dulu ya, jangan pergi kemana-mana. Aku cuma akan pergi sebentar, janji deh nanti kembali lagi.”
Sosok itu berpamitan pada gadis kecil bermata bulat dengan netra legam yang tengah duduk digazebo pinggir taman bermain seraya membungkukkan tubuhnya agar dapat menatap terakhir kali gadis kecil itu.
“Memangnya mau kemana?” Gadis kecil itu bertanya bingung, ia menatap sosok yang terlihat cantik dan sangat muda itu dengan teliti seolah mencari jawaban dari mata atau Indra lainnya.
“Aku hanya akan pergi mencari kamar kecil,” Jawab perempuan itu dengan senyum palsu dibibirnya.
“Kalau kamu menunggu dengan baik akan kuberi hadiah.” Lanjutnya meyakinkan gadis cilik itu.
Tentu saja mendengar akan diberi hadiah jika sabar menunggu, gadis cilik itu jadi mengangguk cepat mengiyakan dengan semangat. Perempuan cantik dengan rambut pendek sebahu itu segera berdiri dan pergi meninggalkan gadis kecil itu sesekali berbalik untuk melambaikan tangan. Gadis kecil itu membalasnya dengan lambaian penuh semangat.
Tanpa gadis kecil itu sadari waktu sudah banyak berlalu. Dalam pikirnya yang masih polos ia merasa berada di sana sedari matahari nampak cerah, hingga kini langit mulai nampak jingga. Ia senang-senang saja, bersenandung dan menari kecil. Mulailah langit tampak gelap dengan cahaya redup dari rembulan. Gadis kecil itu meringkuk disudut gazebo dengan perasaan ketakutan dan menggigil karena suhu udara yang mulai turun. Matanya berusaha ditutupnya dengan erat berharap langit segera nampak terang.
Malam yang ia lewati hari itu begitu gelap, dingin, tak ada suara kegiatan orang lain. Sesekali ia mendengar suara jangkrik dan gemerisik dedaunan. Hingga tiba-tiba hujan turun disertai guntur yang sangat keras disusul kilat yang membuat langit malam menjadi terang selama sepersekian detik.
CTAAR…
Gadis remaja itu terbangun dengan peluh memenuhi tubuhnya. Ia tak habis pikir, bagaimana cuaca yang tadi begitu cerah sekarang berubah menjadi mendung. Tetes hujan mulai berjatuhan menubruk atap membentuk motif polkadot. Segera saja ia berlari menuruni tangga menuju lantai 2 dimana kamarnya berada.
Ia melepas pakaian basahnya dan melemparkannya ke keranjang pakaian kotor. Sebelum pergi mandi, ia mengisi sebuah teko listrik dan menyalakannya. Disambarnya handuk dan langsung menuju kamar mandi. Guyuran air panas dari shower mulai membuatnya sedikit tenang. Pertanyaan yang selalu ia pikirkan masih saja belum terjawab.
Kiranya siapakah perempuan yang meninggalkannya dahulu. Apakah ia ibunya ataukah saudaranya. Bahkan ketika mereka bercakap tidak ada panggilan lain selain aku dan kamu. Dahulu gadis bernetra kelam ini tak tahu bahwa sebenarnya manusia memiliki nama atau panggilan dalam keluarga. Barulah ketika beranjak besar dan bertemu banyak orang dipanti asuhan ia menyadari jika manusia pasti memiliki nama atau setidaknya panggilan. Gadis itu terus menerka, ah, apakah ia ibuku, oh mungkin saja ia kakakku.
Tenggelam sudah ia dalam pikirannya sendiri, hingga ia begitu terkejut ketika mendengar suara orang menggedor pintu kamarnya. Dililitkannya handuk mengelilingi tubuhnya dan ia bergegas mengambil dan memakai pakaiannya.
Dipersilakanlah tamunya masuk oleh gadis itu setelah ia lengkap berpakaian. Namun, begitu terkejutnya dia ketika seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu yang merupakan tamunya itu menangis saat melihatnya.
“Ternyata kamu tidak banyak berubah, nak.”
(shf)