Oleh: Alisyia Bilbina
Malam ini masih sama, aku terus melangkah dengan tatapan kosong tanpa arah ditemani dingin nya angin malam yang semakin menusuk kulit. Rindu dan sesak kian menghantuiku selama satu bulan ini. Bagaimana tidak? Ibuku sudah kembali pada Tuhan. Rasanya gila, aku hampir menyerah untuk menjalani hidup saat ini. Bukan ini yang aku mau.
Aku masih merindukan nya, sangat. Biasanya ibu akan menungguku di rumah dengan segelas susu hangat ditemani syal yang terlilit di lehernya. Boleh kah aku sedikit egois kali ini untuk memintanya kembali? Kali ini saja, kumohon. Ini benar-benar membuatku tak berdaya, tungkai ku sudah lemas. Kuputuskan untuk berhenti di halte bus sembari menunggu bus yang akan datang.
Kulihat ada seorang anak kecil yang duduk sendirian tak jauh dari tempatku. Dia tampak bersemangat menghitung beberapa lembar uang receh yang dia kumpulkan. Kakiku tergerak untuk mendekatinya, entahlah aku hanya mengikuti naluriku. Dia masih belum menyadari bahwa ada seseorang yang duduk di sampingnya, mungkin masih asyik dengan kegiatannya.
Lalu kuberanikan untuk bertanya.
“Halo, Adek. Nama kamu siapa?”
Dia nampak terkejut tapi tak berselang lama, dia tersenyum dan membalas sapaanku.
“Halo, Kak, namaku Rahmat,” jawabnya dengan senyum yang tak pernah luntur sejak tadi.
Hufttt untung saja dia ramah, jadi aku bisa menyesuaikan gaya bicaraku.
“Tadi Kakak lihat kamu kayaknya lagi seneng banget,” ucapku sekenanya.
“Iya nih, Kak, lagi menghitung hasil ngamen tadi,” jawabnya dengan jujur.
Ini semakin menarik perhatianku, entah dari mana datang nya ide ini dengan berani aku bertanya lagi.
“Orang tua kamu kemana?”
Dan itu sukses membuatnya berhenti sebentar dari aktivitasnya, kemudian menatapku dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Aku yang mulai menyadari suasana berubah, segera menarik kata-kataku meski tahu sudah terlambat.
“Ah, maaf kalau Kakak lancang, jika kamu tidak ingin menjawabnya lupakan saja,” ucapku yang jadi tidak enak hati padanya.
“Ayah dan ibuku sudah di surga, Kak,” ucapnya dengan senyum yang dipaksakan, bahkan aku tahu jika dia sedang terluka.
Dengan rasa bersalah, aku meminta maaf, “Maafin Kakak ya dek,” ucapku dengan rasa sesal.
“Tidak apa-apa, Kak. Aku sudah terbiasa kok.” ucapnya sembari tersenyum.
Hening. Setelahnya aku benar-benar tidak berbicara lagi karena takut merusak suasana.
“Kakak sedang banyak pikiran ya?”
Tunggu, bagaimana dia bisa tahu? Aku masih terdiam dan dia kembali bersuara.
“Wajah Kakak mengatakannya,”
Aku tersenyum sembari menganggukkan kepala.
“Hidup ini tidak adil kan? Mengapa mereka ada jika akhirnya pergi tanpa pamit,” ucapku sambil menundukkan kepala.
Aku merasa seseorang menyentuh tanganku, dan saat aku menoleh dia kembali tersenyum.
“Allah itu adil, Kak. Kata nenek, Allah lebih tau apa yang dibutuhkan hamba-Nya. Jadi jika Kakak merasa ditinggalkan maka mendekatlah kepada Allah dan mintalah kekuatan. Aku dulu juga seperti Kakak, selalu merasa tidak mendapat keadilan. Tapi sekarang aku jauh lebih bersyukur dengan hidup yang aku jalani dengan nenek. Kata Pak Ustadz juga jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Allah memberi cobaan yang tidak melampaui batas hamba-Nya. Jadi jangan merasa sendirian, karena Allah selalu bersama kita.”
Kali ini aku benar-benar bungkam. Tanpa sadar aku menjatuhkan setetes air dari mataku. Ah sial, mengapa harus turun lagi, padahal aku berusaha menahannya.
Aku kembali mengingat bahwa masih ada ayah dirumah yang mungkin sudah menungguku pulang dengan rasa khawatir terhadap anak perempuannya. Kata-kata anak ini membuatku sadar bagaimana caranya bersyukur. Aku masih memiliki ayah yang menyayangiku, sedangkan dia sudah tidak memiliki keduanya. Tanpa pikir panjang aku segera memeluknya sembari mengucapkan terima kasih karena sudah mengingatkanku bahwa aku tidak pernah sendirian.
Tak lama, bus datang dan aku segera bergegas untuk pulang. Tapi sebelum itu, aku berpamitan padanya.
“Adek pulang nya hati-hati, ya,” ucapku sembari memegang pundaknya.
“Siap, Kak. Kakak juga hati-hati, ya,” sambil melambaikan tangan.
Aku pun memasuki bus dan duduk di kursi belakang, kubuka jendela untuk melihat kendaraan yang berlalu lalang ditemani angin malam yang menerpa wajahku.
Saat membuka pintu rumah, kulihat ayah tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala. Rasa bersalah semakin menghantuiku karena terlalu memikirkan diriku sendiri. Kuputuskan mengambil selimut untuk ayah karena tidak tega membangunkannya.
Setelahnya aku kembali ke kamar untuk merebahkan tubuhku sambil mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Terlalu banyak pelajaran hidup yang aku ambil dari kehidupan anak kecil itu, bahwa semua yang ada di dunia ini akan datang dan pergi. Begitulah siklus kehidupan. Sementara itu, kantuk mulai datang dan membawaku ke alam bawah sadar.
–Penulis adalah seorang siswa kelas X yang bergiat di ekskul jurnalistik Turcham Media
Source gambar: Pinterest
One thought on “Tentang Menyambut dan Melepaskan”