Opini

The Unexpected Destiny I’ve Never Written on My Plan

Oleh: Nayla Rahma Mawardi

Menyedihkan. Satu kata yang cukup menggambarkan keadaan diriku ketika pertama kali menjumpai kegagalan terbesarku sepanjang lima belas tahun hidup di dunia. Kesempatanku diterima di SMA negeri lenyap melebur bersama hilangnya namaku di laman PPDB SMA tiga tahun lalu.

Kenyataan pahit itu menyakitkan. Rasanya bagai melakukan terjun payung, tapi parasutnya tersangkut hingga akhirnya jatuh tersungkur menabrak tanah. Seperti sudah yakin bisa menghadapinya dengan persiapan matang, namun ternyata masih ada faktor yang luput dari penglihatan. Jangan tanya bagaimana perasaanku kala itu. Sedih? Tentu. Kecewa? Sangat.

Itu adalah titik balik kehidupan terbesarku (sampai saat ini). Jika mengingat kembali bagaimana terpuruknya diriku kala mengetahui fakta bahwa aku gagal, rasanya sungguh menyesakkan hati. Bagaimana bisa nasibku berakhir demikian?

Sejak dulu, aku sudah berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan SMA ke sekolah negeri favorit. Secara, aku sendiri berasal dari sebuah SMP negeri unggulan, di mana mayoritas siswanya juga memiliki mimpi yang sama sepertiku. Sehingga, kegagalan yang menimpaku tahun 2021 silam merupakan hal yang cukup memalukan.

Di saat itulah SMA Khadijah hadir sebagai jalan keluar dari keterpurukanku. Kedua orangtuaku (yang aku yakini bahwa mereka juga amat kecewa) justru bersemangat menarikku dari lingkaran kesedihan. Mereka mengenalkanku pada sebuah sekolah swasta yang sama sekali tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Tentu, aku yang keras kepala tak langsung menerimanya. Aku memberikan opsi-opsi SMA swasta lain, namun kedua orangtuaku bersikeras bahwa SMA Khadijah adalah yang terbaik untukku.

Setelah dipikir-pikir, orangtuaku juga ada benarnya. Selama ini, aku berpikir bahwa keinginanku selalu yang terbaik (untukku), namun siapa sangka jika ternyata Allah tidak menganggapnya demikian pula? Aku sudah tidak punya harapan untuk daftar SMA negeri dan masuk sekolah swasta adalah satu-satunya jalur yang bisa kuambil. Mungkin, Allah sudah merencanakan hal lain yang lebih baik daripada prasangkaku. Karena pada akhirnya, manusia hanya bisa merencanakan, namun Allah yang menentukan hasilnya.

Mulanya, aku menjalani masa-masa awal SMA dengan perasaan yang agak berat hati. Tetapi, lambat laun, aku mulai ikhlas dengan membesarkan hatiku bahwa aku memang ditakdirkan di sini. Rasanya jadi jauh lebih ringan untuk melalui hari-hari berikutnya.

Setelah beberapa waktu, aku mulai menyadari sesuatu. Pelan-pelan, rupanya aku sudah menaruh hati kepada sekolah swasta ini. Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan sangat bersyukur ditakdirkan bersekolah di SMA Khadijah yang bahkan tak pernah aku tulis dalam rencana hidupku. Ternyata, aku bukan menemui kegagalan pada tahun 2021 silam. Melainkan, keberuntungan!

Aku menyukai lingkungan yang diciptakan oleh guru, karyawan, siswa, dan seluruh komponen di dalam sekolah ini. Hal ini berhasil membuatku merasa nyaman menimba ilmu. Di samping itu, aku memberanikan diri untuk banyak eksplor minat dan bakatku, sehingga aku tak merasa sia-sia sudah disekolahkan di tempat bergengsi seperti Khadijah. Aku mendapat banyak teman, pengalaman manis dan pahit, sampai akhirnya bisa merasa attached dengan almamater hijau cerah ala warna NU ini.

Terlebih lagi, aku bisa memaksimalkan diriku di kelas. Jauh berbeda dengan Nayla saat SMP dulu yang terlalu banyak main-main. Aku senang dengan perubahan itu, sebab (jujur saja) aku takut menemui penolakan lagi. Tidak diterima PPDB SMA sudah cukup membuatku terbayangi trauma, sehingga aku berusaha untuk menghindarinya sebisa mungkin. Setidaknya, aku memperbaiki usahaku, kan?

Bersama SMA Khadijah, aku melewati banyak hal yang berarti (untukku). Aku bahagia bersekolah di sini. Bonusnya, sekolah inilah yang berhasil mengantarkanku meraih prodi dan universitas impianku melalui jalur SNBP (Alhamdulillah).

Sanking bahagianya menjalani hari-hari di Khadijah, sampai-sampai tak terasa sudah saatnya kelulusan. Bagaimana bisa secepat itu? Rasanya baru saja kemarin menangis di depan laman PPDB SMA, kok sekarang sudah mau kuliah saja?

Aku tak siap. Tak akan pernah siap meninggalkan segala hal yang kulalui di sekolah. Mulai dari kebiasaan membaca doa pagi dan baca surah Al-Quran sebelum pelajaran, mampir ke kopsis minimal dua-tiga kali sehari, dihukum membaca shalawat jika telat, rutin melakukan istighosah kelas, atau menunggu diadakannya istighosah yayasan agar pulang siang, hehehe.

Tak sampai di situ, aku jadi teringat motivasi diriku jika masuk hari Jumat hanya untuk Tartil dan PIB dilanjutkan main usai shalat Jumat, menikmati jamkos sambil menonton film horror, mendengarkan lagu melalui speaker yang disetel kencang-kencang hingga ditegur guru kelas sebelah, makan bekal pagi-pagi sebelum jam pelajaran pertama, bercerita banyak hal dari sesi curhat hingga deeptalk dengan Caca di kelas, dan kebiasaan didulang bekal oleh Nevia.

Omong-omong tentang sekolah, rasanya tak afdol jika tidak mengingat betapa sukanya diriku membeli jasuke, puding melon, burger, atau gorengan berlumuran mayones di kantin SD. Atau, mengincar pisang goreng atau sotong di kantin SMP. Teman-temanku sampai hafal di luar kepala tentang jajanan yang selalu aku beli tiap harinya. Kata mereka, “Nayla kalo udah suka satu jajan, pasti bakal dibeli terus sampe bosen.” Hahaha, lucu sekali jika diingat-ingat. Ah, aku jadi ingin kembali ke masa sekolah dan pergi ke kantin bersama mereka lagi.

Yang tidak kalah penting dari seluruh kenanganku di sekolah adalah kehadiran guru-guru SMA Khadijah yang beragam dan unik dengan ciri khasnya masing-masing. Sungguh sebuah anugerah dapat bertemu dan diajar dengan orang-orang yang hebat. Aku tidak akan melupakan rutinitas membaca dzikir bersama sebelum pelajaran Sejarah Indonesia-nya Pak Nurmantoko, menyanyikan lagu nasional tiap pelajaran PPKn-nya Pak Muchlas, melakukan percakapan bahasa Mandarin dengan Laoshi Asmania, mendengarkan ceramah Bu Musyarofah tiap masuk kelas, menyimak sambutan Pak Ghofar tiap ada acara, mendengar ucapan penyemangat dari Bu Luluk, deg-degan tiap pelajaran Bahasa Indonesia-nya Pak Shodiq, bernegosiasi dengan Bu Rina agar jamkos, mengagumi ketampanan Pak Galuh bersama anak-anak kelas, menanti kabar gembira dari Bu Umi jika berhalangan masuk kelas, melihat keseharian Bu Lely menghadapi siswa-siswi, bersenda gurau dengan Pak Chaq di ruang piket (atau ruang sentral, ya, namanya), selalu was-was saat pelajaran Seni Budaya-nya Pak Yusuf, atau berusaha memahami pelajaran Bahasa Arab-nya Bu Evi yang (sedikit) sulit.

Aku akan selalu berterima kasih dan merindukan seluruh orang yang kutemui di SMA Khadijah, beserta seluruh kenangan yang telah kulalui bersama mereka di sekolah hebat ini.

Memang benar, ya, bahwa sehebat apapun kita merencanakan sesuatu, rencana Allah tetap selalu lebih indah dari yang kita kira. Meski dulu tidak pernah kubayangkan diriku bergabung dengan alamamater ini, siapa sangka bahwa ternyata SMA Khadijah adalah takdir yang amat aku syukuri sekarang? Terima kasih atas kegagalannya masuk SMA negeri, ya, Nayla zaman SMP!

*Penulis merupakan angkatan refty yang masih terjebak dalam seluruh kenangannya di SMA

444 total views, 3 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *