Oleh: Azzahratul Humaira Balqis
Akhirnya, semester kelima. Semester paling akhir yang diakui sebagai semester aktif di SMA, sebelum menekan batin sendiri di semester enam untuk menghadapi SNPMB atau bisa disebut es en pe em be, persiapan dan perjuangan memasuki dunia setelah sekolah. Karena itu, mungkin sekolah memang menempatkan jadwal wali songo (selanjutnya akan disebut walsong) pada tahun terakhir ini sebagai salah satu bentuk ikhtiar kami, para siswa kelas akhir dalam mempersiapkan diri pada perang nasional yang akan datang.
Entah sengaja atau tidak, tapi mengapa kami berangkat sehari setelah pembagian rapor, ya? Apakah agar siswa-siswinya diminta banyak-banyak berdoa dan beristighfar setelah melihat angka-angka kematian semacam ukuran sepatu di rapornya? Bisa jadi, hahaha. (Bukan pengalaman pribadi).
Pada kegiatan akhir semester lalu, seorang alumni yang mengisi sesi sharing di kelasku memberikan suatu wejangan. Ia mengingatkan kami untuk bersungguh-sungguh ketika berdoa pada walsong nantinya, karena sepengalamannya, doa dan hajat yang ia minta di sana Alhamdulillah di ijabah oleh Allah. Boleh saja menikmati keseruan perjalanan ini, tapi tetap tahu tempat dan waktu, kapan harus serius dalam berdoa, kapan bisa bersenang-senang.
Sebelumnya, ketika mendengar woro-woro adanya walsong, apa sih yang terlintas di benakmu? Apakah hanya doa-doa saja dan tidur di bis?
Sebenarnya tidak salah, tapi tidak benar 100% juga. Di perjalanan ini, memang kita berfokus untuk berdoa dan meminta pertolongan Allah dalam perjuangan mencapai hajat kita melalui perantara para sunan sembilan yang terbentang mulai dari Jawa Timur hingga Jawa Barat. Ingat, berdoanya tetap kepada Allah, beliau-beliau ini hanya perantara saja. Jangan kebalik. Salam, kirim doa, yasin, tahlil.
Tapi sebenarnya masih banyak lagi hal yang tidak kita rasakan jika tidak mengikuti ziarah walsong ini. Pada malam ketiga, kami sampai di Sunan Gunung Djati atau SGUJA jika disingkat—oleh Bu Luluk, karena tidak cukup ditulis di rundown. Kami sampai pukul 23.00 untuk langsung mengunjungi makam beliau. Malam-malam, di tempat yang amat jauh dari rumah: Jawa Barat? Untuk para Khadijahers sepertiku yang sudah pernah wali lima dan wali delapan bersama almamater hijau NU ini, hanya wali ini yang belum pernah aku kunjungi.
Ku akui, aku memang sedikit ketakutan karena sejak awal, Bu Luluk dan Bu Lely sudah memperingatkan kami semua untuk selalu menjaga diri: buat PAGAR BETIS! Apa itu pagar betis? Maksudnya, laki-laki berada di barisan luar untuk menjaga barisan perempuan yang ada di tengah-tengah. Wah, jika sampai begitu, apakah se-berbahaya itu?
Jujur, kukira ‘keamanan’ yang dimaksud semua orang merujuk pada arah mistis, tempat yang gelap, dan semacamnya. Ternyata, hal ini untuk menjaga kami dari pengemis dengan kedok ‘untuk menjaga kebersihan makam’ yang sebenarnya lebih cocok disebut ‘pemaksa’. Mereka berjajar di sepanjang jalur memasuki makam dan tidak segan menghalangi jalan kami jika tidak diberi sepeserpun. Padahal, peringatan yang diberikan kepada kami adalah jangan mengeluarkan uang di depan mereka semua jika tidak ingin dikerumuni. Alhasil, kami berjalan sambil menunduk dan menggenggam erat tas kami hingga sampai pada makam.
Bayangkan, perjalanan sejauh dan semenegangkan itu ternyata hanya untuk waktu berdoa sekitar kurang lebih 20 menit di makam. Karena itu, kami dengan sekuat tenaga menahan kantuk dan mempertegas bacaan agar perjuangan kami semua tadi sepadan.
Jika dipikir kami hanya duduk di bis selama perjalanan, salah besar! Kami juga mencoba berbagai transportasi lain: ojek, bemo, dan becak. Bukan mencari kenyamanannya, tapi pengalamannya. Naik ojek di Sunan Giri dan Muria di jalan yang berkelok-kelok, bemo di Sunan Kudus sampai-sampai ada yang harus bantu mendorong karena bannya tersangkut, hingga becak di Sunan Bonang yang rawan menipumu dengan harga mahal. Maka dari itu, dengarkan instruksi guru pendamping dan guru BK-mu baik-baik, dan juga terapkan ketika disuruh untuk mengenakan celana panjang di dalam rok atau abayamu, haha! (Belajar dari kesalahan.)
Kami dipahamkan bahwa perjalanan ini memang sepenuhnya fokus untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah ketika kami tidak diberikan tidur senyaman di rumah.
Malam pertama di penginapan daerah Sunan Muria, kami masih bisa tidur dengan enak meskipun waktu yang diberikan hanya 2-3 jam saja. Tapi di malam kedua di SGUJA, kami terpaksa saling berbagi tempat dan memperbesar rasa sabar karena tempat tidur yang seadanya, ditambah dengan waktu tidur yang singkat sebelum berangkat berziarah lagi.
Memang nggak capek? Oh, tentu saja! Capek banget!
Tapi karena aku tidak melaluinya sendiri, tapi bersama teman-teman satu angkatan, semua rasa capeknya sedikit pudar karena ditanggung bersama-sama. Terlebih, ini adalah momen bersama-sama terakhir kami sebelum harus berjuang sendiri-sendiri.
Tujuan kami hanya satu: meminta ridho Allah melalui perantara wali-walinya.
Perjalanan ziarah ini menjadi salah satu momen paling menyenangkan yang kamu akan menyesal jika melewatinya. Kami dituntut untuk menjaga solidaritas satu angkatan agar tak ada yang tertinggal, serta semua selamat sampai kembali ke sekolah. Saling membantu, saling menjaga, saling mengerti satu sama lain.
|28/12/23 Tangan kanan menulis, tangan kiri memijat kaki
~Penulis adalah seorang siswa yang badannya remuk setelah empat hari tidur dalam keadaan duduk.
Editor: Nailal
1,810 total views, 6 views today