Ramadhan Hidayat*
“Kalian nanti jualan ya.”
Kalimat yang ku dengar itu membuatku bingung awalnya. Jualan apa? Bagaimana caranya? Untungnya seberapa? Pertanyaan itu berkecamuk di kepalaku kala itu. Memikirkan bagaimana cara berjualan yang baik dan benar adalah hal yang memusingkan. Aku memang pernah jualan waktu itu, SD tepatnya, tapi itu ada campur tangan guru dan juga orang tua. Aku belum pernah berjualan yang benar-benar mulai dari perencanaan hingga praktiknya langsung. Memang jualannya tidak kita seorang diri, tapi justru itulah permasalahannya.
Kelompok sudah terbentuk. Dan aku terpilih menjadi sekretarisnya. Tak masalah, aku sudah berpengalaman tentang pembuatan proposal dan sebagainya. Struktur sudah terbentuk, tinggal menentukan makanan dan minuman apa yang mau dijual. Dan di sinilah letak masalahnya. Perbedaan pendapat yang harus disatukan. Indonesia adalah negara yang multikultural, perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah. Namun, menyatukan, menyelaraskannya adalah hal yang sulit. Anggota kelompok mulai menyuarakan pilihannya. Anggota lain menyela, dan begitu seterusnya. Aku selalu menjadi pihak netral. Aku memperhatikan dengan seksama.
Dirasa mulai tidak kondusif, aku mencoba buka suara. Mencoba menyambungkan berbagai pendapat yang ada, unsur diselaraskan. Dan akhirnya, setelah beberapa pertimbangan, kelulusan sudah ditetapkan. Alhamdulillah. Jika bertanya mengenai ketua, ah sudahlah, aku lelah mengurusi orang itu.
Masuklah dalam tahap perencanaan dan uji coba produk. Aku membuat daftar bahan-bahan apa saja yang diperlukan. Lalu, aku membagikannya ke grup agar yang lain tahu apa saja yang harus mereka beli. Dalam fase ini, semua aman lanjut ke uji coba produk.
Kami praktik di rumah salah satu anggota setelah pulang sekolah. Banyak cerita yang terjadi hanya demi membuat satu burito berisi nasi goreng dan satu lychee mojito. Mulai dari piring pecah, kurang bahan, kurang uang, dan lain sebagainya. Jujur saja, aku lelah dan ingin marah saat itu. Aku harus menghandle semuanya, karena ketuanya tidak ada. Aku benar-benar ingin memarahinya saat itu, tapi ya sudah lah mungkin dia sibuk. Mungkin. Walaupun lelah, tapi tak apa. Cerita-cerita di atas tadi adalah momen berharga. Tak bisa diulang. Hanya bisa disimpan dalam kenangan.
Fase persiapan stand bazar
Waktu itu kami sempat bingung untuk memilih tema. Kami ingin tema yang berbeda, unik, dan menonjol. Waktu itu sedang tren film “Inside Out 2”, menceritakan sekumpulan emosi yang bekerja di dalam otak sang tokoh utama. Aku mengusulkan tema itu. Menurutku itu menarik, warna-warni, melambangkan keberagaman.
Awalnya terjadi pro-kontra. Namun, pada akhirnya mereka setuju. Setelah penentuan tema adalah penentuan nama. Karena aku sedang lelah saat itu untuk hanya sekadar nama, akhirnya aku meminta bantuan kepada temanku, panggil saja ChatGPT. Jika bertanya mengenai anggota lain, mereka juga malas, aku malas mereka juga ikut malas. Aneh memang, tapi yasudahlah. Dan akhirnya setelah beberapa waktu berbincang-bincang dengan “temanku”, terpilihlah nama “Emotional Delights”.
Banyak cerita yang terjadi sewaktu menyiapkan stand. Celana kena cat, bahan stand yang kurang, ukuran yang tidak pas, dan banyak hal lain yang terjadi. Dan syukur, standnya jadi.
Akhirnya, semua campuran emosi yang terkumpul hanya demi mencari untung itu menjadi pelajaran dan memori indah yang akan selalu terpatri di dalam hidupku. Perencanaan, persahabatan, kerja keras, disiplin, dan lainnya menjadi pilar pondasi dalam cerita ini. Senang, sedih, lelah, pusing menjadi pelengkap cerita ini.
Surabaya, 02/10/2024
*Penulis merupakan klan Fasvenje cabang Smatec-in
55 total views, 5 views today