Oleh: Nur Azizah
Sepenggal cerita haru dari bumi penuh rahmat, Syam tepatnya di Horns Suriah. Terlihat seorang gadis belia tengah menggali kuburan yang masih baru dengan tangannya. Ia melakukannya Seraya menangis dan berkata, “Sudah… sudah… keluar kita tak main petak umpet lagi. Keluarlah dengan aman.”
Di sana ia tak sendiri, disampingnya hadir sang ayah yang juga turut meneteskan air mata. Jenggot lebat nya yang hitam kini telah basah dengan air mata. Ia hanya mampu melihat anaknya tanpa bisa melarangnya walau sebentar.
Awal kisah dimulai sejak hari itu, terlihat seorang anak laki-laki hendak keluar rumah. Sebut saja ia Rizal. Tapi adik perempuannya menangis sejadi-jadinya. Karena kedekatan mereka, ia menghalangi kakaknya untuk pergi, ia tak ingin kakaknya keluar meninggalkannya. Begitu pula dengan Rizal, ia tak ingin langsung termakan jurus andalan sang adik. Rizal terus mencari cara untuk tetap bisa keluar rumah. Ia pun memberi tawaran yang menyenangkan untuk adik kecilnya, Nisa. “Bagaimana jika kita main petak umpet?”. Tanpa pikir panjang, Nisa sangat senang untuk menyetujui tawaran manis kakaknya.
Gadis belia itu pun mulai menghitung dan memejamkan matanya. Selesai menghitung, ia membuka matanya dan segera mencari di mana Kakak tersayangnya bersembunyi. Seluruh sudut rumah sudah ia kitari, namun sayang wujud sang Kakak belum juga ia temui.
Tak lama berselang, suara bising handphone Ayah mereka memenuhi atap-atap rumah. Ternyata panggilan itu dari Rizal. Tanpa ragu sang ayah langsung mengangkatnya. Dari sana ia mendengar suara heboh juga suara seorang yang tak dikenal. Suara dari telepon itu mengabarkan bahwa anaknya telah berpulang dalam pelukan-Nya, peluru penguasa zhalim Basyar Assad telah menembus tubuh Rizal. Tubuh kekar sang ayah berguncang karena tangisnya. Air matanya mengalir deras tak bisa dipaksa untuk berhenti.
Esok hari, dengan bantuan saudara Muslim lainnya mereka membawa jenazah Rizal menuju pemakaman. Sedangkan, Nisa hanya melihat kakaknya yang dibawa dengan tandu. Nisa terus memanggil-manggil kakaknya. Namun sayang, Rizal tak bisa lagi menjawab panggilan adik kecilnya. Lantas terjadilah dialog Nisa dan sang ayah.
“Abi, kemana mereka hendak membawa kakakku?”
“Mereka membawanya supaya bisa bersembunyi untuk melanjutkan main petak umpet.” Dengan senyum terpaksa ayahnya menjelaskan.
“Tapi, aku tak ingin bermain lagi” rengek Nisa.
“Sudah tak apa. Ini yang terakhir kali” suara kekarnya kini terdengar bergetar.
Di tengah-tengah pemakaman, Nisa memejamkan matanya dalam pangkuan sang ayah sambil berkata lirih “Biarlah kakakku bersembunyi.” Mereka meletakkan jasad Rizal dalam tanah, lantas menimbunnya.
Sejak hari itu, Nisa selalu meminta sang ayah menemaninya untuk datang ke kuburan kakaknya. Nisa masih berpikir bahwa Rizal sang kakak masih bersembunyi di sana. Ia selalu memanggil-manggil “Wahai kakakku yang bersembunyi, ini aku gali tanahnya. Keluarlah! Keluar!”
Kemudian, ia terisak dalam tangisnya. Hati sang ayah semakin tercabik-cabik melihat ini. Nisa yang kini telah menjadi anak semata wayangnya. “Abi, kakak tak mau keluar” rengek Nisa terus-menerus dengan tangannya yang tak henti menggali gundukan tanah yang telah menimbun sosok yang sangat Nisa cintai.
~Penulis merupakan siswi SMA Khadijah Surabaya yang duduk di bangku kelas 10 MIPA 3
pict: Lifestyle – SINDOnews
1,137 total views, 6 views today