Cerpen

Ketika Pertemanan Berubah Arah

Oleh: Fatimah Najwa Assegaf

Namaku Raina. Aku memiliki dua sahabat bernama Amy dan Kelly. Dari kami sekolah dasar sampai lulus sekolah menengah pertama, kami selalu bersama. Tak ada yang pernah memisahkan. Kami sudah seperti trio maut yang ketika digabungkan, tidak ada yang bisa melawan.

Aku paling jago dalam pelajaran Bahasa Indonesia, senang menulis cerita dan puisi untuk diriku sendiri. Sementara Amy yang paling tomboy, lebih suka bermain sepak bola. Ia bahkan mengalahkan laki-laki dalam pelajaran olahraga. Dan terakhir, Kelly paling hebat dalam pelajaran matematika. Isi kepala Kelly persis seperti kalkulator. Ketika belanja atau mengeluarkan uang untuk keperluan suatu hal, Kelly lah yang selalu menjadi bendahara bagi kami.

Sayangnya, semenjak memasuki kelas 1 SMA. Aku dan Amy merasa jika Kelly sedikit berubah. Ketika diajak makan bersama di kantin, Kelly bilang ia tidak bisa karena harus belajar untuk persiapan lomba olimpiade. Aku dan Amy tidak masalah, kami justru sangat mendukungnya. Tapi kemarin ini, kami melihat Kelly justru makan bersama anak-anak baru di sekolah kami. Mereka adalah anak-anak populer yang lebih suka bermain ketimbang belajar.

Aku dan Amy akhirnya memutuskan untuk bertanya langsung pada Kelly. Mengapa Kelly berbohong. Lalu Kelly menjawab.

“Sorry, tapi aku takut kalian marah. Karena aku pikir, aku butuh teman baru. Rasanya kita bertiga berteman sudah sangat lama.”

Aku tidak mengerti kenapa jawaban Kelly hari itu seperti ingin menyudahi pertemanan kami. Selama hampir 10 tahun kami menjalin persahabatan, tiba-tiba satu di antara kami memutuskan untuk mengundurkan diri begitu saja. Dan itu semua akhirnya terbukti oleh waktu. Yang awalnya Kelly masih dua-tiga kali makan bersama kami, kini Kelly sudah tak pernah terlihat lagi. Aku dan Amy selalu makan berdua di pojokan kantin. Di kelas, Kelly juga lebih sering bermain dengan teman-teman barunya. Sebetulnya, aku tidak ada masalah dengan itu.

Namun, aku rasa, kenapa Kelly harus mengorbankan pertemanan lamanya untuk membuat pertemanan baru? Bukankah kami semua bisa berteman? Apakah ada sesuatu yang Kelly sembunyikan? Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar di kepalaku. Dan semalam, aku jadi tidak bisa tidur karenanya. Esok harinya aku memutuskan untuk berbicara dengan Kelly hanya berdua. Lebih baik aku pastikan sendiri dulu, tanpa Amy.

Aku akhirnya bertanya pada Kelly apakah aku pernah berbuat salah? Apakah aku pernah melukai hatinya dan ia tidak sanggup untuk mengungkapkannya? Atau mungkin, aku dan Amy pernah membuatnya merasa diabaikan? Aku bertanya dengan nada menggebu-gebu. Tapi jawaban Kelly justru di luar dugaan, terlihat begitu santai.

“Yang kamu sebutkan itu tidak benar, kok. Kamu tahu sendiri jika aku tidak suka sesuatu aku bisa langsung mengucapkannya. Aku hanya merasa ingin bergaul dengan teman-teman lainnya. Tidak perlu harus sama kamu dan Amy terus.”

Lagi-lagi balasan Kelly membuat aku merasa dibuang. Kini sudah jelas, Kelly tidak ingin lagi berteman denganku, juga Amy.

Hari itu, aku pulang dengan rasa sedih, kecewa, dan mungkin juga marah. Ada seperti bagian di hatiku yang terpotong hingga terasa tidak utuh kembali. Bagaimana mungkin Kelly yang kukenal polos dan riang, sekarang sudah seperti mengerti semua hal dan memutuskan keinginannya sendiri? Memilih kelompok pertemanan yang dianggap ‘keren’ daripada aku dan Amy yang kutu buku dan sederhana.

Seminggu pertama tanpa Kelly memang terasa berat bagiku. Tidak seperti Amy yang orangnya tenang dan kuat. Amy bilang, ia tidak masalah jika sekarang Kelly lebih dekat dengan yang lain. Ia mengaku, ia turut bahagia dan tidak ingin menaruh hal yang buruk pada pandangannya terhadap Kelly.

Mendengar itu, aku hanya terdiam. Butuh waktu yang cukup lama untuk aku mengerti. Bahwa aku tidak bisa memaksakan kehendak orang lain untuk menuruti keinginanku. Aku tidak bisa berasumsi jika aku berbuat demikian, maka temanku juga akan berbuat demikian. Mungkin, dulu aku juga sering menuntut balasan. Aku yang selalu rela berkorban demi teman-temanku, kemudian aku kecewa jika mereka tidak melakukannya juga padaku.

Pada akhirnya, aku tahu tidak ada kata ‘selamanya’ di dunia ini.

Dalam jalan kehidupan, bukan sekadar memastikan semuanya aman, tapi mengajariku untuk selalu bertahan dalam segala keadaan.

-penulis merupakan salah satu siswi SMA Khadijah yang duduk dibangku kelas X-1

Source pict

801 total views, 9 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *