Pulang

Anjing-Anjing yang Diributkan

Oleh: Penyair Amatir

Binatang menyusui yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya. Jika ingin lebih singkatnya, kamu bisa bilang saja: anjing.

Gara-gara binatang itulah, Alberto “baku hantam” dengan orang yang sebelumnya tak pernah ia tahu batang hidungnya. Maksudnya bukan anjing yang benar-benar anjing. Ah, maafkan saya. Saya mulai saja pelan-pelan.

Sore itu, Alberto tengah menunggu bus di halte depan RSJ Bahagia. Tentu saja ia bukan pasien di sana. Hanya saja, ada salah satu temannya yang dirawat di sana. Kemarin malam baru masuk. Ia harus mengantar berkas pasien. Kebetulan, orang tua pasien berhalangan. Alberto kemudian menjadi juru penolongnya.

Seorang laki-laki yang ia taksir usianya seperti papanya tengah duduk di halte. Matanya fokus pada layar gawainya. Alberto mengambil jarak dua kursi. Ia kemudian duduk sembari membaca novel ~ yang hari itu targetnya harus selesai dibaca.

“Anjing…”

Alberto terkejut. Ia menoleh pada lelaki di sebelahnya. Semakin terkejut ketika mata lelaki itu memandangnya. Sorot matanya seperti mata anjing yang tengah curiga pada makhluk asing yang mendekatinya.

Belum sempat ia memalingkan muka, bibir lelaki itu kembali menguatkan kata serupa dengan intonasi yang membuat kepalanya meledak.

“Anjing kamu. Anjing!..”

Alberto sama sekali tidak mengenali pria di hadapannya itu. Tetapi jelas sekali, ia mengatai dirinya. Oh, bila mengatai lebih sopan, kita pakai: mengumpatnya.

Tentu saja bukan tipikal Alberto untuk langsung perang terbuka. Ia bukan pemuda yang semacam itu. Tetapi tak bisa dipungkiri kemarahannya membuat raut wajahnya lebih menyeramkan. Setidaknya ia tidak gegabah.

“Anjing kamu. Anjing…” ujar lelaki di hadapannya itu semakin liar.

Kali ini tangannya mulai menuding Alberto.

“Sebelum mulutmu kugampar, bisa dijelasin apa maksudmu?” ujarnya bergetar.

Ia menarik napas panjang-panjang. Begitu yang ia baca di internet. Salah satu meredakan rasa marah. Alberto sadar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terpancing.

Lelaki itu terus meluncurkan nama ~ binatang menyusui yang biasa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu, dan sebagainya itu dengan intonasi penuh intensi.

Tak ada jalan lain. Alberto yang tercatat sebagai mahasiswa psikologi di kota S itu resmi terpancing. Dengan begitu agresif ia berdiri dan menubruk lelaki itu dengan segenap jiwa raganya. Tangannya meninju. Kakinya menggebrak. Kepalanya menanduk.

Tanpa perlawanan. Betul. Tanpa perlawanan. Lelaki itu terjungkal. Wajahnya lebam dan berdarah. Beberapa orang menyerbu halte. Melerai keberingasan Alberto. Bahkan seseorang meninju wajah Alberto. Ia sampai terjengkang.

“Biadab. Biadab. Gila. Zaman apa ini kamu berlaku seperti binatang. Anjing..” demikian maki seseorang yang membuat Alberto terjengkang.

“Aku tak ingat setelahnya. Aku ingat kemudian sudah berada di sini.”

Alberto memandangku lekat.

“Sampai kapanpun aku percaya kamu. Aku tahu kamu. Aku percaya kamu..” ujarku menenangkannya.

Lelaki yang menjadi “korban” itu melaporkan kejadian itu ke polisi. Alberto kini meringkuk di tahanan. Ia didakwa pasal penganiayaan. Apalagi adegan pemukulan di halte itu menyebar bak kacang goreng. Sumpah serapah warga kota ditujukan padanya.

Aku percaya Alberto. Dia bukan pengidap kelainan mental yang membuatnya hilang kendali. Apalagi bajingan tengik. Tetapi, selalu ada tetapi. Hanya aku yang percaya. Sialnya aku tidak punya sesuatu untuk menolongnya.

“Anjing…” Teriakku kesal.

Ketika aku menoleh, perempuan paruh baya yang tak kutahu kehadirannya menatapku nyalang. Matanya menyerupai nyala anjing.

10/09/20
menentukan

*Penulis merupakan penyuka binatang

source pict

990 total views, 3 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *