Oleh: M. Allen Semesta Takbir
Bangun, aku telah bangun, azan subuh membangunkan ku yang terlelap dalam mimpi yang akan bersambung jika aku tidur kembali. Tapi sudah saatnya beribadah karena itu sebuah kewajiban. Aku pun melaksanakan shalat subuh.
Selepas shalat aku memulai hari seperti biasanya, ya, main HP. Tidak ada kegiatan yang terlalu penting saat itu, karena aku telah lulus SMP dan besok adalah hari masa pengenalan lingkungan sekolah atau MPLS di SMA. Jadi hari ini aku hanya perlu menyiapkan beberapa barang untuk persiapan MPLS besok.
“Hmm… Tinggal laminating sama beli tali buat ID card ini” kataku sambil melihat informasi ketentuan MPLS besok di HP.
“Eh, bukunya harus ku kembalikan hari ini” aku melihat sebuah buku ‘belajar tajwid’ dengan cover depannya gambar anak-anak. Buku itu ku pinjam dari sahabatku.
Aku memutuskan untuk mengembalikan buku itu jam 09.00 nanti, jadi aku memilih sarapan pagi terlebih dahulu sebelum memulai kegiatan berat.
“Kak Sastra, kalau mau makan, masih ada di dandang”
“Oh, iya Bu”
Ibu selalu tahu jika anaknya pagi-pagi selalu kelaparan, hahaha. Tidak pakai lama, aku langsung mengambil nasi di dandang yang baru dihangatkan di dapur. Kemudian aku mengambil telur yang baru digoreng oleh ibu. Telur dan nasi, sebuah perpaduan yang nikmat.
“Alhamdulillah, kenyang sudah perut ini” aku bersyukur atas nikmat yang telah diberikan.
“Kak, ini buku siapa?” Bapak melihat buku belajar tajwid itu.
“Itu punya temanku pak, Putra, aku pinjam ke dia buat tes di SMA kemarin”
“Hmm…gitu”
“Pak, nanti bapak keluar rumah nggak?” aku berniat meminjam motor bapak.
“Bapak nanti ada pertemuan, pinjam saja motor ibu dulu”
“Oke!”
Setelah sarapan, jika tidak membaca buku, maka aku akan bermain HP kembali. Beberapa saat kemudian, jam menunjukkan pukul 08.00 dan saatnya untuk bersiap-siap ke rumah sahabatku, Putra.
“Bu! Aku pinjam motornya ya, mau ke rumah Putra” aku meminta izin kepada ibu yang sedang menyetrika baju di lantai dua.
“Iyaa, jangan lupa bawa STNK, ada di laci lemari”
“Okee bu”
Setelah mengambil STNK dan kunci motor, langsung saja aku menaiki motor hijau yang telah berjasa dalam menghidupi keluargaku. Rumahku dan Putra dipisah oleh sebuah sungai yang cukup lebar. Meski rumahku dekat dengan kapal penyeberangan, tapi aku lebih memilih untuk menyeberang sungai melalui jembatan karena alasan keamanan.
Beberapa menit kemudian, sampai juga aku di rumah Putra. Sebuah rumah di daerah Wiyung, gang Kramat. Rumahnya harus memasuki sebuah jalan sempit.
“Assalamualaikum, Putra” aku melihat Putra sedang mencuci baju di depan teras rumahnya.
“Waalaikumsalam, bang”
Putra memanggilku dengan sebutan “Bang”, padahal kami hanya berbeda umur empat bulan saja.
Aku pun turun dari motor, kemudian Putra hendak cuci tangan hingga akhirnya kami bersalaman seperti biasa apabila bertemu.
“Putra, ini bukunya mau aku kembalikan” aku menyerahkan buku yang ku pinjam.
“Oke bang”
Setelah mengambil buku itu, Putra masuk ke dalam rumahnya. Aku berniat untuk bermain sebentar di rumah sahabatku ini.
“Bang ayo ikut saya, haha” Putra membawa kunci sepeda motornya.
“Hah, ke mana?” tanyaku
“Mau beli ‘keplek’ buat ID card” jawab Putra.
“Lah?” aku bingung kenapa Putra mengajakku untuk membeli benda tersebut.
“Udah, ikut aja”
Dengan perasaan bingung aku pun menuruti kemauan Putra. Sambil dibonceng kami pun berbicara di atas sepeda motor.
“Bang, MPLS mu kapan?”
“Besok udah mau masuk, MPLS”
“Oalah, oke. Sekarang ke tempat fotocopy yang di sana”
“Oke, gas”
Tidak lama kemudian, kami sampai juga di tempat tujuan.
“Mbak, ada keplek ukuran B3?” Putra bertanya kepada mbak-mbak yang bekerja di tempat itu.
“Sebentar mas, saya carikan dulu”
Mbak-mbak itu mencari barang yang Putra butuhkan, namun hasilnya berkata lain.
“Maaf mas, ‘keplek’nya nggak ada”
“Ooh, ya udah mbak, makasih” Putra terlihat agak kecewa.
“Putra, cari di toko yang satunya lagi aja, dekat sini” aku mencoba memberi solusi.
“Aku tahu bang, kita ke toko buku dekat Masjid Agung!”
“Woi, ngapain jauh-jauh, yang dekat kan ada?”
“Udah, ke situ aja, sekalian jalan-jalan, awokwkwkwkwk”
Meski itu membuatku bingung, namun aku tetap menuruti kemauannya ini. Lagi. Saat di perjalanan, Putra tiba-tiba berbicara.
“Aku bakal jarang banget lewat sini bang” sambil melihat jalanan sekitar yang kami lalui.
“Lah kenapa, kamu kan bisa kemana-mana, kamu kan ada motor ini”
“Ya pastinya bakal jarang, waktu sudah masuk sekolah kita bakal sibuk sama urusan masing-masing”
“Iya juga ya”
Aku sempat heran dengan pernyataan Putra, namun itu semua menjadi jelas, karena sebentar lagi kami pasti sibuk dengan urusan masing-masing.
“Oh iya bang, gimana hubunganmu sama dia?”
“Dia siapa?” aku bingung tiba-tiba Putra bertanya seperti itu.
“Halah, itu loh, dia”
“Oooh, Amel” aku jadi teringat sama itu lagi.
“Gimana bang?”
“Yaa, biasa aja, kita berteman lagi kayak biasa”
“Apa iya?” Putra bertanya tidak percaya.
“Iyalah, apalagi”
“Awokwkwkwkwk, bercanda bang”
Kami pun sampai di toko buku yang jaraknya cukup jauh. Untung saja toko ini sangat lengkap dan Putra mendapat apa yang dia inginkan. Setelah membeli barang itu, kami berniat kembali ke rumah Putra.
“Putra, udah dzuhur ini, salat dulu yok”
“Nanti di masjid dekat rumahku aja”
“Ya udah deh”
Setelah itu, kami menuju masjid yang berada di dekat rumah Putra. Untung kami masih diberi nyawa ketika di jalan hingga sampai di masjid. Kami akhirnya dapat melaksanakan salat zuhur di masjid, meski hanya kami berdua berjamaah.
Selepas salat, kami kembali. Sesampainya di rumah Putra, aku sebenarnya ingin pulang karena tujuanku sebenarnya hanya ingin mengembalikan buku. Namun semua itu batal ketika Putra mengajakku untuk berbincang di depan teras rumahnya.
“Bang sini dulu, ayo kita mengenang perjalanan SMP kita selama ini”
Mendengar kalimat “perjalanan SMP”, semua ingatan tentang apa yang telah ku lalui selama di sekolah menengah terputar begitu saja. Aku langsung duduk di lantai teras bersama Putra.
“Kenapa emang” aku berpikir tidak terlalu peduli, atau akhirnya selesai juga masa SMP ku.
“Ya gak apa, itung-itung ingat perjalanan kita” Putra sangat antusias dengan apa yang ingin ia katakan.
Yang kami bicarakan cukup sederhana, hanya tentang pelajaran saat SMP, teman-teman, guru-guru, sampai hubunganku dengan Amel.
“Haha, dulu aku kaget bang, kok bisa kamu nembak Amel”
“Yaa, sekarang aku juga bingung, kenapa dulu aku nyatain perasaan ke dia, sekarang semuanya kayak hampir hancur lebur, dan sejarah saat SMP ini bakal aku kenang terus”
“Iya bang, jangan dilupakan….. Oh iya, kamu masuk SMA Islam kan, awas kamu pacaran lagi, aku pukul kalau sampai pacaran, SMA Islam kok pacaran!”
“Haha, nggak bakal deh, nyesel aku pacaran. Tobat-tobat”
“Awokwkwkwkwk” Putra tertawa.
Tak terasa perbincangan kami sampai tiba waktu salat Ashar. Aku dan Putra memutuskan untuk salat jamaah di rumahnya saja, karena kebetulan orang tua Putra sedang keluar.
Setelah selesai salat ashar, aku ingin izin untuk pulang, tapi entah mengapa perasaanku saat itu bilang tunggu dulu.
“Bang Sastra, masih bisa di sini nggak?”
Aku berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan itu.
“Hmm… Bisa sih, kenapa?”
“Oke sip, ayo nonton” Putra menunjukkan koleksi kaset miliknya yang sebagian besar adalah film Power Rangers dan Ultraman.
“Wih, gaskeun lah!” aku yang memang tertarik dengan hal seperti itu langsung mengikuti ajakan Putra.
Beberapa saat dan film yang kami tonton, yang terdiri dari seri-seri Power Rangers dan Ultraman, Putra pun mengusulkan untuk menonton kartun Angry Birds. Ia memasukkan kasetnya dan memulainya. Jujur saja, pada bagian ini tawaku dan Putra lepas, karena isi film ini sendiri cukup aneh dan absurd.
“Hahaha…. Putra, kamu kok bisa punya kaset kayak gini”
“Haha… Dulu aku beli di pasar malam bang”
Hingga suatu adegan pada kartun itu, aku berniat untuk memfotonya dengan HP ku. Tidak terasa, kami menonton hingga maghrib tiba.
“Putra, salat di masjid yok” aku mengajak Putra untuk salat magrib.
“Ayo bang”
Kami bergegas menuju masjid menggunakan motor Putra, kemudian setelah sampai di masjid kami pun melaksanakan salat magrib berjamaah. Setelah salat aku dan Putra hendak kembali, namun tiba-tiba Putra membawa aku melewati sebuah perumahan yang belum ku lalui selama mondar-mandir ke Wiyung.
“Loh-loh, kok lewat sini?” tanyaku yang kebingungan.
“Nah, kamu belum pernah lewat sini kan?”
“Oh, aku paham, nanti kita balik lewat sana kan?”
“Hehe, lihat aja bang” Putra seperti ingin menunjukkan sesuatu.
Saat itu aku berpikir Putra ingin menunjukkan sebuah jalan dan tempat baru untukku. Aku mulai mengingat-ingat jalan yang baru ku lalui.
“Ingat jalan ini bang?”
“Iya” balas ku pendek.
Namun tiba-tiba fokusku teralih dengan pemandangan langit-langit yang masih setia dengan warna jingganya, padahal matahari hampir tenggelam. Itu sebuah pemandangan yang sangat indah.
“Wow!”
“Gimana bang?”
“Iya, indah”
Akhirnya sampai juga di rumah Putra, aku bersiap untuk kembali pulang. Aku berpamitan dan mengucapkan kalimat perpisahan, karena tidak lama lagi kami akan jarang berjumpa.
“Putra, aku balik dulu ya, terima kasih buat semuanya selama ini”
“Iya bang, sama-sama, terima kasih juga, semoga sukses di SMA”
“Iya, sama-sama, Semoga kamu sukses juga di SMK”
“Iya bang”
“Oke, aku balik dulu, assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, hati-hati bang”
“Iyaa!”
Aku pun langsung tancap gas untuk kembali ke rumah. Saat di perjalanan aku memikirkan kembali apa yang terjadi hari ini, kenapa tiba-tiba Putra mengajakku untuk melakukan suatu hal.
“Kenapa ya tadi Putra kok gitu?”
“………”
“…………..”
“…………………”
“Hiks.. hiks.. hiks” tetes air keluar dari bendungan mataku.
Betapa bodohnya aku hari ini, tidak bisa menyadari apa yang terjadi. Putra berusaha untuk memberi sebuah kenangan perpisahan terakhir yang indah tapi aku malah bersikap biasa saja.
“Hiks.. hiks.. sialan” aku kesal dengan diri sendiri.
Putra adalah sahabat terbaik, tapi apakah aku sahabat yang baik baginya?
Putra selalu ada ketika aku memiliki masalah di sekolah, dia satu-satunya yang meredakan perasaanku saat putus dari Amel, saat orang lain memandangku munafik, saat semua orang kecewa denganku. Hanya Putra seorang yang masih di sampingku dan menopangku selama masa SMP.
Aku berusaha kembali ke rumah secepat mungkin dan coba menghindari lampu merah di jalan, agar apabila saat berhenti, orang-orang di jalan tidak bisa mendengar tangisan dan penyesalanku.
“Aku memang payah, bodoh, dan gegabah. Hiks.. hiks… Sekarang Putra tidak akan lagi ada di sebelahku, aku akan menghadapi semua masalah sekolahku esok sendirian”
-Penulis merupakan siswa SMA Khadijah Surabaya yang duduk di bangku kelas X-2
source pict
Editor: Nov
543 total views, 3 views today