Buku

Kekasih Teluk: Suarakan Perlawanan Lewat Kumpulan Sajak

Oleh: Nailal Fariha

Buku ini cukup mengajakku berkelana pada 2015 silam, tepatnya saat masih menjadi siswa Sekolah Dasar (SD) di Bali. Maraknya demo tolak reklamasi Teluk Benoa (ForBali) ternyata menjadi topik utama dalam karya sastra kumpulan puisi Kekasih Teluk oleh Saras Dewi.

Luh Gede Saraswati Putri yang umum dikenal Saras Dewi adalah seorang penulis, penyanyi, dosen Filsafat UI sekaligus aktivis lingkungan yang kerap mengangkat isu isu sosial, budaya, dan politik dalam karyanya.

Judul: Kekasih Teluk
Penulis: Saras Dewi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 136
Tanggal Terbit: 2022
ISBN: 9786020663166
Bahasa: Indonesia

Buku yang berisi kumpulan puisi puitis dengan pembawaan bahasa yang terasa asing dan susah dipahami tentunya menjadi experience baru bagi orang awam. Di dalamnya disajikan istilah yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan kebudayaan Bali.

Dalam buku ini Saras Dewi berusaha menegaskan rasa cinta dengan kata “kekasih” untuk menyuarakan perasaannya selama berjuang sebagai aktivis saat menghadapi ancaman reklamasi Teluk Benoa yang menjadi bagian hidupnya.

“Hari hari saya bersama Teluk Benoa, adalah keintiman yang mengisi jiwa dengan harapan. Ia memperbarui hidup saya, menyambung kembali cinta yang sempat tercerai dengan kampung halaman.” (Catatan Penulis)

Ketika membaca halaman awal, sangat dirasa sajak sajaknya mempertemukan alam dengan personifikasi yang luas. Penjelasannya akan hubungan manusia dan alam tergambar mesra dengan makna tersirat yang cukup membuat putar kepala. Namun sebelum masuk ke dalam sejumlah puisi di dalam buku ini, Saras Dewi mengenalkan tentang imajinasinya kepada pembaca.

Keyakinanku tidak bertempat,
Di rumah ibadah buatan manusia
Laut adalah persemayaman yang luhur
Pegunungan adalah kesaktian semesta
Padang lamun adalah ruang suciku.

Hal.1

Menyempitnya ruang hidup dan sosial membawa Saras Dewi mengisyaratkan kekhawatirannya melalui kumpulan sajak ini. Bentuk perlawanan dan kegigihan penolakan nya terhadap reklamasi Teluk Benoa sangat dapat dirasakan dalam tiap untaian kalimat. Pada halaman 9-10 di dalam puisi “Ibu“, ia mendefinisikan kondisi manusia dan alam saat ini. Penggunaan kata “Ibu” untuk penegasan alam dan kata “manusia” secara terang terangan semakin memperjelas maksud puisi ini.

Aku tidak mau manusia menang,
Dalam peperangan dungu yang dimulai bangsaku
Meski aku seorang manusia,
Aku tidak mau kaumku menang,
Sebab kebodohan mengerubungi otak mereka
Seperti wabah mematikan
Sehingga mereka tidak sadar,
Bahwa mereka sedang membunuh Ibunya sendiri.

Hal.10

Istilah kebudayaan dan keagamaan seperti Sang Hyang Dedari, Vayu, Hyang Widhi akan kerap ditemukan di dalam buku ini. Penggunaan judul tempat tempat spesifik di pulau Bali juga turut menghiasi sajak sajak ini, mulai dari Sanur, Desa Sumerta, Kuta, Canggu, Karangasem dan tentu Benoa sebagai fokus utamanya. Ada beberapa puisi yang disajikan singkat hanya dengan satu bait hingga terdapat pula bentuk yang layaknya cerita, menghabiskan beberapa halaman.

Tak hanya itu, keunikan buku ini juga menampilkan beberapa gambaran hasil imajinasi tulisan Saras Dewi dalam beberapa puisinya. Gambaran yang cenderung menggambarkan hubungan laut dan sekitar.

Banyak filosofi hidup yang tersirat juga dalam permainan personifikasi dalam sajaknya. Seperti halnya pada puisi “Berjalan dengan kakek“, terdapat bagian yang terasa ringan namun memiliki makna mendalam dan dapat dijadikan pedoman.

Kakek menggandeng tanganku menuju karang,
ia menunjuk ke sisi bebatuan
“Lihat, Kepiting-kepiting sedang berbahagia,
Hidup seperti teluk ini, ada pasang dan surut
Kau terjun merenangi hingga batas di saat pasang,
Tapi jangan bermurung diri dikala surut.”

Hal.27

Tak hanya itu, selepas merenungi maknanya dengan tidak sekali lihat dan perlu dipikir dua kali lipat, rasanya penggalan bait ini melekat menjadi pengingat untuk ku yang membaca dikala hilang semangat dan sempat mempertanyakan tujuan hidup yang dirasa masih jauh dari kata bermanfaat.

Buku ini juga mengirimkan luka dan hal hal buruk yang terkesan kejam dan memilukan seperti kematian, penyiksaan hingga pengkhianatan.
Namun hal ini juga dipudarkan dengan sajak romantis nya ketika bicara mengenai tempat kepulangannya, tak lain dan tak bukan, Sanur, Sumerta dan Teluk Benoa.

Dari buku ini sendiri, aku bisa lebih memaknai hubungan kasih antara manusia dan alam dan menjunjung tinggi nilai kesadaran untuk mengelola akal dan perbuatan, demi keberlangsungan hidup seluruh makhluk di alam. Tak hanya tentang alam, namun norma- norma yang berlaku dalam kehidupan pun turut diterapkan.

432 total views, 3 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *