Oleh: Ketut Ghina Sofiya Hamidah
Dapat bangun hari ini adalah sebuah privilese. Menghirup udara segar (yang walaupun berpotensi tidak menjadi segar lagi ketika terik dan polusi menyapa Surabaya) adalah sebuah privilese. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk belajar adalah sebuah privilese. Satu lagi, yang mungkin tidak disadari, dapat melewati sebuah ujian—apalagi dengan perasaan senang dalam setiap prosesnya adalah sebuah privilese.
Periode ujian praktik adik-adik angkatan Fasvenje telah datang. Sebagai seseorang yang telah melewati masa tersebut, dengan bangga aku menuliskan; tolong, harap senang. Tidak harus tenang yang penting senang.
Demi lampu merah Ahmad Yani dengan bunyi belnya yang tiada henti, demi sudut-sudut di Khadijah Raya yang punya kenangannya tersendiri, atau bayang-bayang PTN yang selalu menghantui, percayalah bahwa semua itu akan cepat terlalui.
Pembaca Turcham Media di manapun berada, penulis juga merupakan Gen Z yang peduli terhadap kesehatan mental, sadar betul ketika mendeklarasikan hal di atas. Tolong jangan kategorikan pernyataan tersebut sebagai toxic positivity (baca:kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif).
Bukan, bagi siapapun yang menjalaninya tidak dilarang bersedih. Hanya saja, aku menaruh kepercayaan besar bahwa banyak dari kalian akan senang selama ujian praktik berjalan, tidak selalu tapi kebanyakan.
Rentetan Instagram story berisi kilas balik masa-masa SMA yang seringkali kujumpai di akunku dan teman-teman lainnya ketika kami telah menjadi mahasiswa mungkin bisa jadi buktinya. Momennya bermacam-macam, termasuk ketika masa-masa ujian praktik.
Sehingga ketika rekan dari Turcham Media yang konon bernama Hilwa Aula mengontakku, meminta untuk berbagi pengalaman terkait keriwehan ujian praktik, yang terbayang justru bukan keriwehan dengan konotasi negatif, yang menyusahkan dan menyesakkan. Namun keriwehan berbentuk kenangan yang dengan senang hati aku laksanakan. Mungkin itu sebabnya The Adams dalam lagunya yang berjudul Masa-Masa, menuliskan lirik, “Seiya, sekata, bersama. Masa lalu dan sekarang, ‘kan kita kenang di masa yang datang”.
Semakin meningkatnya jenjang pendidikanku, juga bertambahnya beban di pundakku, semakin sadar pula bahwa menjadi dewasa itu setara dengan menjadi sendiri. Memilih sendiri jalanku, menyelesaikan sendiri tugasku, dan merancangnya dengan harap-harap bahwa itu akan menjadi jalan paling apik. Tidak seperti dahulu yang semua bisa dikonsultasikan ke Bu Luluk (Guru BK tercinta kami, REFTY).
Dunia perkuliahan itu serius sekali. Tentu, gelak tawa selama pembelajaran pernah terjadi, tapi sejauh ini belum ada tawa yang sepuas dan selepas di auditorium SMA saat proses setor hapalan thaharah bersama Bu Mus. Di bangku perkuliahan, tentu saja pembaca akan menemukan teman yang saling membantu dalam berbagai perkara, tetapi pemandangan kawan yang saling bantu menghapalkan doa qunut dan bacaan shalat lainnya untuk disetor ke Pak Zulfa tentu merupakan pemandangan unik yang terakhir kulihat setahun lalu di Khadijah Raya.
Tak lupa, Pak Aunur yang memiliki kesabaran lebih luas dari auning ketika disetorkan hapalan oleh beberapa dari kami yang hanya komat-kamit. Selain itu ada guru tartil yang mengetes kemampuan mengaji, guru-guru PAI kami lainnya yang saat itu tidak mengetes XII IPS 2 (kelas penulis bernaung), seperti Pak Fahmi, Pak Haq, dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu.
Kalau tidak salah linimasa (disclaimer: penulis hanya mengandalkan ingatannya yang tentu saja perlu diasah ketajamannya), ujian praktik paling awal ialah PENJASORKES. Di minggu pertama, beberapa praktik seperti senam lantai, kebugaran jasmani, dan lain-lain berjalan mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah. Puncaknya, kami disuruh berlari mengelilingi lapangan thor selama 10 menit. Sebagai orang yang saat itu menganut paham efisiensi dalam bergerak, tentu saja aku lelah. Namun umur memang tak bisa bohong, karena masih tergolong muda, lelahnya jadi cepat berlalu. Dua jempol untuk Pak Roy atas pengalaman asik nun serunya.
Jika diperintahkan untuk memilih ujian praktik mana yang paling menguji nyali, aku akan memilih Ekonomi. Masih terbayang jelas ketika aku membuka, membaca, kemudian mengerjakan rentetan angka pada lembar kertas akuntansi itu. Pembaca, penulis merupakan orang yang (berusaha) tenang di segala terjangan ujian, tapi tak dipungkiri selama mengerjakan lembaran tersebut, diri ini cukup tegang.
Takut lupa cara, takut hasilnya gagal balance, beserta takut-takut lainnya. Walau diliputi rasa tidak percaya diri selepas mengerjakan lembaran, ternyata diri ini berhasil melewatinya dengan sekali coba, heuheuheu (aku berdoa semoga Bu Lisa, guru Ekonomi kami yang luar biasa cerdas nun sabar itu tidak merutuki tulisan ceker ayamku).
Ya, aku bahkan tak sanggup menulis rapi akibat terlalu banyak mikir dan diserang waktu. Pada akhirnya sesuatu yang amburadul juga bisa dimengerti jika didasari (sedikit) ilmu.
Sebelum beralih ke subjek selanjutnya, ada satu cerita lucu (setidaknya menurutku) yang kualami saat sedang aktif-aktifnya ujian praktik. Di tangga kecil sebelah XII MIPA 4, aku bertemu guru Sejarah Indonesia, Bapak Nurmantoko.
Sehabis aku memberi salam dan salim, beliau bertanya, “Nak, hari ini praktik apa?” tentu saja aku jawab dengan subjek yang sedang dihidangkan hari itu, tak ada niat sedikit pun untuk membercandai ucapannya. Namun selepas aku menjawab, beliau malah berkata, “Untung sejarah nggak ada praktik. Kalau ada, saya suruh bangun candi”. Ya, tawaku lepas tak terkendali. Memang guru-guruku ini unik sekali.
Ngomong-ngomong soal keunikan, aku selalu bertanya ke teman-teman di luar sekolah terkait tugas apa yang diminta guru Bahasa Indonesia saat ujian praktik pada masa SMA. Sejauh ini, hanya ada satu yang sama dengan Khadijah Raya, itu pun secara konsep jauh berbeda. Siapa lagi kalua bukan tugas novel Bahasa Indonesia milik Bapak Shodiqin? Pembaca, yang satu ini memang dapat riweuh dan butuh konsistensi nyata, namun ketika hasilnya keluar, percayalah hati penghuni kelas (yang mengerjakannya) akan riang gembira.
Seperti yang ku catat dalam lembaran novel ku, aku tidak tahu jika akan ada forum yang membantu siswa untuk memenuhi jiwa narsistiknya dengan cara yang autentik, meski hal itu juga berarti bahwa kami harus mengingat, mengemas, dan mempersembahkan masa lalu dengan segala bahagia dan peliknya menjadi satu karya abadi.
Entah ada atau tidaknya praktik-praktik yang telah kutulis di atas pada sistem FASVENJE, yang jelas, menurutku masa-masa ujian praktik pantas disebut periode apik menggelitik. Digelitiki perasaan yang terkemas dengan apik. Akan banyak tawanya, akan ada risaunya, akan ada ribetnya, akan ada perasaan yang membuatmu merindukannya. Dan yang pasti, bagi yang menjalankan, tentu saja kamu akan melewatinya.
Sailing the sea, the waves may rise, face it strong, and you’ll be wise.
Terima kasih sudah membersamai penulis dalam perjalanan opini ini, terima kasih untuk para guru yang luar biasa, terima kasih teman-teman Turcham Media. Sampai bertemu lagi di tulisan-tulisan lainnya, ya!
–Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, program studi Sosiologi Universitas Airlangga, yang sedang menata segala yang sehat.
360 total views, 3 views today