Pulang

MONOLOG: SEUTAS REZEKI JOKPIN

Penyair Amatir

Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. Demikian Jokpin berujar. Rezeki macam apa yang dimaksud penyair yang telah ~ pergi selamanya itu?

Baiklah, segera buka kamus. Rezeki sendiri jika menilik kamus artinya: (n) segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari); nafkah.

Berarti “bernapas” itu masuk kategori rezeki bila menilik definisi KBBI. Karena bisa digunakan untuk melangsungkan kehidupan. Selebihnya berderet-deret: berpikir, berjalan, bercanda, bermain, bekerja, berlari, dst (bayangkan saja, itu baru yang berimbuhan -ber). Maka nikmat manalagi yang “antum” dustakan?

Penggalan puisi yang ditulis 2013 (Surat Kopi) tersebut mengajak kita untuk kembali. Kembali menghargai hal-hal kecil yang kadangkala kita anggap sesuatu yang biasa, padahal dari sanalah hal-hal besar bisa kita lakukan.

Begitu teman saya bilang. Saya manggut-manggut saja.

Apakah salah mengharapkan rezeki besar? Misalnya keterima UTBK, beli IP, dapat voucher menginap di kutub utara, dll?

Teman saya (sepertinya) bingung. Mungkin dalam kepalanya: pertanyaan sampah mana lagi ini? Tapi dia tersenyum. Karena kopinya habis, ia ambil air mineral di depannya. Menenggaknya.

Apakah dengan peduli hal-hal mendasar dalam hidup kemudian berarti meniadakan rezeki besar seperti yang kau maksudkan? Ini jelas ada pembengkokan nalar. Dia terbahak-bahak. Lalu batuk sejadi-jadinya. Orang-orang tak pelak melihat kami.

Tetaplah menjaring rezeki besar dengan militan. Rumus universalnya: berpikir, bekerja, dan berkarya. Itulah cara setiap tubuh beraktualisasi menjadi manusia. Tanpa itu hanya akan jadi tubuh saja. Tubuh tanpa daya alias mayat hidup.

Lalu kenapa harus dengan secangkir kopi? Teman saya kaget mendengarnya. Ia menatap saya agak lama. Ia ambil lagi air mineralnya. Menenggaknya.

Judul puisinya Surat Kopi. Ini dengarkan bait pertamanya: Lima menit menjelang minum kopi/ aku ingat pesanmu: “Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.

Mungkin kalau judulnya Surat Es Nutrisari, kemungkinannya ya Es Nutrisari. Asuwkamu. Tapi apalah itu, anggap saja bahwa sesuatu itu perlu diberikan apresiasi. Supaya bertumbuh. Supaya mekar. Terbang ke angkasa.

Kok saya tambah pusing menangkap intinya?

Ya jangan ditangkap. Biarkan saja mericik seperti air pegunungan. Mengalir hingga rumah-rumah warga seperti iklan pipa itu. Ah lupa namanya. Rucika. Ya itu.

Misal ada kasus nih. Sudah berjuang sampai mampus tapi tidak mendapat tempat di SNBT. Bagaimana kita harus gunakan kacamatanya Jokpin tersebut?

Teman saya tersenyum.

Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. Pada kasus buatanmu itu kan hasil dari SNBT. Hasilnya dua macam. Dapat atau tidak dapat. Lulus atau tidak lulus. Masuk atau tidak masuk. Perlu dicatat, ini bukan tentang gagal junto kegagalan.

Jadi… (teman saya agak ragu-ragu).

Lebih kompleks dari itu adalah mencoba untuk berjuang. Memilih untuk mengusahakan dengan semaksimal mungkin. Hasilnya memang menentukan jalan hidup. Tetapi apakah itu sebagai satu-satunya jalan?

Ia lagi-lagi menenggak air mineral. Lalu melanjutkan kicauannya.

Jadi penting untuk membuat semacam simulasi. Jika blabla maka blabla. Jika saya dapat SNBT maka saya akan merayakannya dengan secangkir kopi. Jika saya tidak dapat SNBT maka saya akan merayakan jalan lainnya dengan secangkir kopi.

Toh kualitas hidup ditentukan oleh komitmen terhadap apa yang kita usahakan. SNBT merupakan jalan untuk ke sana yang tentu bukan satu-satunya cara.

Saya mengangguk-angguk mendengar jawaban teman saya itu. Lalu saya berujar menutup orbralan kelewat bermutu itu: bersyukur dulu bersyukur lalu selanjutnya minum kopi tanpa susu. Heuehu.

*Tulisan ini dibuat untuk mengenang penyair Joko Pinurbo

525 total views, 3 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *