Oleh: Aqila Viki Fakhria Ramadani
Dahlia, seorang siswa SMP kelas 3 yang tengah dilanda kebingungan untuk memutuskan mendaftar SMA.
Mungkin suara riuh pikirannya bertanya-tanya tentang banyak hal “apa sebaiknya melanjutkan di sekolah favorit di tengah kota? atau justru sekolah swasta dengan berbagai fasilitas mewahnya? atau mungkin pergi ke sekolah kejuruan dan masuk jurusan tata boga untuk meneruskan usaha katering ibunya?”.
“Dahlia, aku duluan” pamit ku.
Dia hanya melambaikan tangan pelan.
“Mira, mau pulang?” aku mengangguk.
“di kelas masih ada orang?”
“ada Dahlia”
“oke, hati-hati di jalan”
“nggak rapat to?”
Vito tertawa terbahak-bahak sembari berlari menuju kelas,
“memang aku bercanda ya?” batinku.
Vito, dia ketua koordinator salah satu sekbid di OSIS. Rasanya isi rutinitasnya padat. Sangking padatnya mungkin bisa mengalahkan biskuit hasil praktek prakarya ku kemarin. Mungkin obrolan-obrolan singkat yang dia sampaikan dengan teman-teman adalah salah satu caranya sejenak menyegarkan diri dari itu semua.
Aku berjalan pelan melewati pinggiran lapangan, si kembar Satya dan Arfan masih setia berkejaran bermain sepak bola. Anak kembar yang kelihatannya bahagia, padahal kemarin mereka bertengkar hebat hanya gara-gara Arfan merusak tugas poster milik Satya. Tidak hanya berdebat, Satya bahkan meninju Arfan sampai giginya lepas satu.
Pertengkaran mereka begitu hebat sampai satu angkatan dibuat berkerumun berdesakan di koridor sekolah untuk melihat pertengkaran sengit itu. Mungkin, mereka sedang mencari cara untuk berdamai dan pertandingan sepak bola adalah cara mereka melupakan sementara konflik yang ada.
Selepas Satya mencetak gol, Arfan memukul punggung kembarannya dan tertawa lantang. Mungkin saja mereka sudah dinasihati guru BK atau justru ibu mereka sampai kenyang dan kelihatannya manjur.
Sampai di tempat parkir, aku mengambil sepeda ku dan bergegas untuk pulang. Aku sempat bertemu dan menyapa Bu Gita, beliau tersenyum ramah menanggapi sapaan ku. Aku dengar anak pertama beliau yang masih berusia 6 tahun baru saja terjangkit demam berdarah. Bukan hal yang mudah untuk tetap tegar ketika ada suatu masalah sebesar itu. Kalau aku mungkin tidak bisa setegar itu.
Walau dibilang pulang sore, posisi matahari tak kunjung merendah. Rasanya masih persis di atas kepala.
“Ara!” sapa ku
Dia tidak menoleh, sibuk memilih pita di toko alat tulis. Mata ku berair, aku mengayuh sepeda lebih cepat. Kami sudah cukup asing untuk dikatakan ‘teman dekat’. Kami jarang berkomunikasi, hanya sekedar bertukar sapa atau bertanya tentang tugas. Topik yang monoton. Aku sedih dengan itu, dia tidak memberi alasan dan ‘memutus’ semuanya secara sepihak. Aku cukup merindukan hari-hari yang telah berlalu itu.
Ada begitu banyak ‘mungkin’ yang muncul di benak ku. Mungkin ini semua rasanya juga lancang karena sok tau. Aku tidak terlalu tahu cara prinsip itu terjadi.
Walau bukan pelaku aku juga merasakan ‘emosi’, tuhan memberikan berbagai ‘emosi’ unik untuk diresapi dan dirasakan. Walau hanya menonton lakon ini, aku bisa ikut membanyangkan bersandiwara disana. Menabjukan, memang sejatinya kita harus banyak-banyak bersyukur. Setiap hari sangat berarti, meskipun hari ini hanya dapat peran ‘menonton’.
*Penulis merupakan siswi kelas 10 yang sedang menikmati hari hari nya sebagai anggota baru turcham
source pict
827 total views, 3 views today