Opini

TENTANG MIMPI BESAR DI KANTONG GADIS KECIL ITU

Oleh: Salsabila Nasywa Caesar

Kalau ditanya guru di bangku sekolah dasar dulu, “Apa cita-citamu?” hampir seisi kelas kompak menjawab jadi dokter. Sangat klise dan aku menjadi salah satu yang menaruh mimpi bersama mereka itu.

Sebuah impian-menggunakan jas putih sambil mengalungi stetoskop yang begitu kita idam-idamkan kala itu. Haluan sederhana itu sudah memenuhi isi kepala kami tanpa permisi. Tanpa menimang kembali prosesnya yang pastinya tidak sederhana itu. Caca kecil itu sudah mengantongi mimpinya bersama dengan gandengan mama papa.

Awal masuk Khadijah sudah aku mantapkan arah perjalananku. Bagaimana caranya nilai rapotku bisa stabil, bagaimana aku tetap bisa memahami pelajaran walau terhalang layar (saat covid dulu).

Target-target sederhana yang coba kurancang, memang bukan yang terbaik di kelas kala itu. Tapi kupastikan harus lebih baik dari versi Caca yang dulu. Ambisi dan mimpi yang coba Caca tutupi ketika ditanya teman dan guru ketika kelas 10, “Mau kuliah dimana?” Mungkin alasan “Masih berusaha memantaskan diri” akan lebih enak didengar ketimbang “takut memiliki mimpi setinggi ini”

Mimpiku memang tinggi. Mimpi yang menjadi impian para pemimpi-pemimpi seluruh Indonesia lainnya. Namun akan coba kuraih meski tertatih.

Sadar tak cukup meningkatkan nilai rapot saja, aku mulai mencari lomba-lomba untuk meningkatkan prestasi. Scroll ig sana-sini hingga membuat grup whattsapp khusus “info olimpiade” bersama teman teman satu kelasku-satu perjuanganku di MIPA 2. Bahkan kami dulu pernah satu minggu satu olimpiade. Pertanyaannya bukan lagi “Malmingmu kemana?” Tetapi “Minggu ini mau olim apa?” Begitu gilanya kami dulu.

Coba mengikuti sertifikasi Cambridge Biology, merasakan menang lomba di Unair langsung, ikut bimbel hingga pulang larut malam (sampe tipes). Berbagai usaha kucoba untuk mengusahakan mimpi besarku ini. Hingga Alhamdulillah namaku bisa masuk deretan siswa eligible dan diberi kesempatan berjuang di jalur SNBP ini.

Tak ketinggalan juga ikhtiarku kepada Allah. Kubisikkan doa bersama dengan mimpiku ketika sujud dengan harapan terdengar hingga ke penjuru langit. Begitu beruntungnya aku bisa melewati huru hara SNBP di bulan suci. Memperbanyak amalan-amalan sembari menunggu hasil di tanggal 26 Maret. Kuserahkan dan pasrahkan semuanya kepada Allah. Apapun hasilnya nanti.

Namun sadisnya, di tengah stres hati dan pikiran menjelang pengumuman, kami masih harus menjalani ujian “paling” akhir guna menuntaskan kewajiban di khadijah tercinta. Tepat juga dengan pelajaran Matematikawan amatir kami, Pak Suef👹👹👹👹

Rasanya kala itu tangan tengah memecahkan soal matematika peminatan, namun pikiran sudah penuh dengan segala takutku akan hasil jam 3 sore. Takut ngecewain, takut ga sesuai ekspektasi orang-orang. Tepat pukul 3 aku malah berlari ke masjid untuk ikut jamaah dan wiridan disitu. Sedikit menunda. Mungkin saking lamanya, Bu Luluk sampai menelponku dan membuka hasilnya dari sekolah.

Aku dikabari beliau tentang kabar gembira ini sebelum sempat membukanya sendiri. Tangisku pecah. Dipeluknya aku oleh mama, papa, serta keluargaku.

Hari itu aku dinyatakan diterima di prodi kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Pastinya perjuanganku masih sangaaat panjang. Ini adalah “awal untuk mengarungi jalan hidup di kampus pilihanku.” Kutipan yang sempat aku abadikan ketika hiruk piruk SNBP 2023, oleh penyair amatir. (Entah beliau ingat atau tidak heuheue).

Dari sini nantinya langkahku berproses untuk menggapai mimpi masa kecilku itu.

Menuju tidur
Tengah malam sekali 7/4/24

*Penulis novel “Garis Ekspedisi” yang juga penerima SNBP 2024 di Prodi FK Unair

source pict

468 total views, 3 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *