Oleh: Penyair Amatir
Juli yang kalau siang panasnya membara, tapi begitu malam dinginnya esoy geboy ini akan segera pergi. Seperti Navasasti yang telah pergi. Huahua.
Kemarin beberapa warga Navasasti menagih lanjutan tulisan saya tentang klan tersebut. Tepatnya PULANG edisi sebelumnya. Katanya, nanggung tulisan saya. “Terhura pak, tapi mau nangis kok nanggung. Bikin lanjutannya Pak” demikian jika saya ringkas beberapa pesan yang saya terima.
Alasan akademis saya (cie sok akademis) ketika saya menulis itu hampir waktu maghrib. Saya punya kebiasaan buruk dalam hal tulis-menulis. Sering saya perlu ritual khusus untuk bisa menemukan “mood” dalam mencurahkan segala rasa yang bergejolak di dada. Weleh. Sialnya hanya warkop langganan saja yang membuat nyaman untuk menulis.
Jadi singkatnya, ketika hidayah itu turun (barangkali mirip pendosa 🥊) eh azan maghrib berkumandang. NAVASASTI PERGI DAN REBUT MIMPIMU akhirnya harus saya akhiri segera. (Nah saya mulai sedih 💀). Demikian klarifikasi tidak bermutu dan tidak perlu ini.
BERTEMU REFTY
Kini, saya bertemu Refty. Apa artinya itu, saya tak tahu-menahu. Intinya, mereka siswa angkatan tertua di sekolah. Walau usia mereka lebih muda dari saya (yes garing 🤳🏿).
Alhamdulillah, saya sudah bertemu semua kelas di pekan reguler perdana. Sensasinya tentu kurang lebih sama. Beberapa kelas aktif, beberapa lagi hati-hati (mungkin takut saya makan). Selebihnya susah didefinisikan, maklum perdana. Yupz, itu dari sudut pandang saya. Yang tiga jam itu.
Suatu ketika, Tara dari (Sikopat) iseng berhadiah tanya kepada saya.
“Tiga jam apalagi jam terakhir itu, apa ndak bosen Pak ngajar kelas?” Kurang lebih begitu poin pertanyaannya.
Jujur saya terkejut. Pertanyaan yang membuat saya takjub. Apalagi itu ditanyakan di dalam perjalanan menuju Unesa. Yang mana jawaban saya didengar oleh beberapa orang (meskipun saya ndak yakin lainnya mendengarnya).
Setelah pandemi, khususon klan Navasasti itulah saya dapat kelas tiga “zaman”. Bayangkan itu jika jam terakhir. Suatu berkah yang sebenarnya masalah. Kelas sudah barang tentu energinya habis. Lha jam pertama saja tradisi merebahkan kepala ke meja junto dinding saja juga ada.
Maka, bersabarlah. Wuih ngeri. Maksud saya, saya yang harus bersabar. Memutar strategi bagaimana layaknya slogan PEGADAIAN.
“Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”
Ozan (Geosg) pernah berujar. “Surabaya Pandaan. Ya apa maneh wes keadaan.”
Tentu, saya juga mengatur cara bagaimana mengusir kebosanan di tiga zaman itu. Dengan kunci utama, sabar binti Surabaya Pandaan.
Sementara bagi kalian (siapapun yang menuntut ilmu) berikut motivasi legendaris yang saya pikir penting dijadikan pijakan.
Barang siapa yang tidak mau merasakan pahitnya menuntut ilmu walau hanya sesaat, maka bersiaplah menanggung kebodohan sepanjang hayat.” (Imam Aas-Syafi’i)
Lalu apa jawaban saya dari pertanyaan Tara tentang tiga “zaman” itu? Saya bilang saja padanya, jika sebagai manusia tentu saya bosan. Terlalu naif jika jawaban saya begini: wah saya bersemangat sekali sekaligus energik juga rajin menabung pangkal kaya.
Wal akhiru, bagi semua penuntut ilmu, kelas X dan kelas XI juga, senantiasalah bergembira menuntut ilmu. Kalian bisa bertemu google sepanjang hayat. Tetapi wejangan gurumu, hanya kaudapat di kelas dalam waktu yang terbatas. Tapi khasiatnya dunia akhirat.
Rumusnya? “man shabara zhafira”
30 Juli 2023
Warkop langganan dan musik yang terlalu absurd
* Penulis merupakan penyuka gradasi langit pagi
source pict
Editor: Nailal
1,059 total views, 3 views today